Senin, 12 April 2010

Kongres PDIP: Kemenangan Kubu Ideologis Atas Pragmatisme

Oleh : Akhmad Kusaeni


Sanur, Bali (ANTARA News) - Terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010-2015 dan pilihan tetap di jalur oposisi di tengah godaan untuk berkoalisi, membuktikan kemenangan kubu ideologis atas kubu pragmatis di elite partai banteng moncong putih itu.

Jauh-jauh hari sebelum Kongres, sudah tampak adanya pertarungan antara kubu ideologis yang diwakili oleh Megawati yang didukung akar rumput partai dengan kubu pragmatis yang melekat pada sosok Taufiq Kiemas yang didukung sejumlah elite partai.

Wacana koalisi atau oposisi menjelang kongres mencerminkan kencangnya pertarungan internal tersebut.

Namun, pidato politik Megawati pada pembukaan kongres mengakhiri pertarungan wacana itu. Puteri Proklamator RI Bung Karno itu menegaskan sikapnya pada jalan ideologi kerakyatan, bukan jalan pragmatisme pada kekuasaan.

Beberapa pengamat yang hadir di Bali seperti Effendi Gazali, Yudi Latif dan Ikrar Nusa Bhakti, memuji pidato Megawati itu sebagai sebuah proklamasi tentang ideologi kerakyatan.

Pidato itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Ideologi PDIP yang beranggotakan tujuh orang yang berasal dari unsur dewan pimpinan pusat dan tokoh partai.

PDIP telah menempatkan diri sebagai partai ideologis. Untuk itu diperlukan lembaga yang mewadahi arah gerak dan orientasi serta dinamika PDIP sebagai partai ideologis agar sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945.

Majelis ideologi antara lain bertugas untuk menerjemahkan ideologi menjadi program konkret partai.


Disambut baik

Penegasan PDIP sebagai partai ideologis dan janji elite partai untuk menuangkannya dalam kerja nyata tentu harus disambut baik.

Pembentukan Majelis Ideologi dalam struktur baru kepengurusan PDIP juga perlu diapresiasi karena majelis inilah yang bertugas mengejawantahkan prinsip-prinsip partai ideologis itu untuk kesejahteraan rakyat yang dikenal sebagai "wong cilik".

Ada sejumlah alasan untuk memberi penghargaan atas keputusan PDIP yang mengukuhkan diri menjadi partai ideologis. Yang utama adalah fakta bahwa hampir tidak ada lagi yang peduli terhadap Pancasila, padahal konstitusi masih menyebut Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.

Meminjam istilah Prof Azyumardi Azra, "Pancasila nyaris absen dalam wacana dan diskusi" di tengah hingar bingarnya pragmatisme yang melanda bangsa Indonesia, para elite politik seakan enggan membicarakan Pancasila, apalagi masyarakatnya. Pancasila sebagai dasar dan fondasi bangsa seolah disimpan dalam kotak besi sejarah.

Tidak sedikit elite nasional dan calon pemimpin kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat, tetapi kehilangan masa depan karena tidak punya idealisme. Mereka silau terhadap budaya materi dari luar dan melupakan keluhuran budaya spiritual bangsa sendiri.

Akibatnya, bangsa ini menjadi bangsa yang gaduh. Korupsi terus merajalela meski sudah sedemikian banyak pejabat, anggota DPR, dan tokoh yang ditangkap dan masuk bui.

Gebrakan KPK dan Satgas Mafia Hukum bukannya menambah efek jera dan menghasilkan penghargaan atas prestasi memerangi korupsi, tapi justru Indonesia naik menjadi peringkat nomor satu sebagai negara terkorup di Asia.


Orang mencibir

Sekarang ini berbicara tentang Pancasila bisa membuat sementara orang mencibir. Hal ini karena adanya disparitas dan kesenjangan antara kelima sila Pancasila dan realitas dalam kehidupan sehari-hari.

KH Mustofa Bisri pernah melontarkan pernyataan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara semakin menjauh dari Pancasila.

Menurut tokoh Nahdlatul Ulama tersebut, kondisi di negeri berketuhanan ini sudah seperti tanpa Tuhan.

Negeri yang berkemanusiaan yang adil dan beradab ini, katanya, sudah seperti tidak kenal lagi dengan perikemanusiaan. Persatuan Indonesia sudah seperti dilecehkan. Rakyat seperti tidak terwakili meski selalu diatasnamakan. Keadilan sosial hanya bagi segelintir orang.

KH Mustofa Bisri pun bertanya, "Masihkah Pancasila menafasi bangsa ini?".

Pertanyaan Mustofa Bisri itu adalah pertanyaan semua anak bangsa ini dan Megawati menjawabnya dengan tegas di Kongres III PDIP di Bali. Megawati menyerukan agar rakyat, setidaknya keluarga besar PDIP, untuk kembali ke ideologi Pancasila.

Pada titik inilah Megawati dan PDIP mendapat apresiasi. Tapi, seperti diakui Megawati sendiri, tantangan bagi PDIP untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.

PDIP harus bekerja dalam situasi psikopolitik "antipartai" dan "antiideologi". Partai nasionalis ini harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berfikir instan untuk kepentingan individual berjangka pendek.

Megawati yang terus memimpin PDIP untuk lima tahun ke depan harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi alat ideologi, tapi alat akumulasi ekonomi.

"Partai menjadi alat sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk kepentingan rakyat. Kita juga harus bekerja di dalam situasi dimana citra menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi,? kata Megawati.

Memang tidak mudah. Akan tetapi, Kongres III PDIP di Bali sudah meletakkan landasan untuk melangkah.

Kongres bukan saja telah menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final, tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.

PDIP "Ogah" Jadi Moncong Biru

Oleh : Akhmad Kusaeni

Sanur (ANTARA News) - Jika ingin tahu demokrasi terpimpin itu bekerja, simaklah Kongres III PDIP di Sanur, Bali. Semua persoalan, debat, atau wacana, bisa diakhiri bila pimpinan partai sudah memutuskan.

Apa yang dikemukakan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sepertinya menjadi kebenaran mutlak yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh setiap kader partai.

Adanya pemimpin yang kharismatik merupakan kekuatan (sebagian pengamat mengatakan justru kelemahan) dari partai berlambang banteng moncong putih itu.

Megawati, yang sudah memimpin partai itu selama belasan tahun, tetap menjadi sumbu tunggal di PDIP yang menentukan kebijakan partai.

Pengamat politik Tjipta Lesmana menilai kepemimpinan Megawati sangat sentralistik. Oleh para pengikut dan kadernya, Megawati dikultuskan.

Pejah gesang, nderek Megawati. Benar atau salah, apa yang sudah diputuskan Megawati sebagai pemimpin tertinggi partai, harus diikuti dan dilaksanakan.

Jika Megawati sudah menegaskan PDIP tetap oposisi, misalnya, maka menjadi partai oposisi menjadi harga mati.

Itu sudah menjadi garis api yang tidak bisa dilewati oleh siapa pun, termasuk Taufik Kiemas, suaminya sendiri, yang pernah mewacanakan koalisi dengan Partai Demokrat dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"PDIP tetap moncong putih, tolak jadi moncong biru!" begitu teriak aktivis Bendera yang berunjuk rasa di depan Hotel Inna Bali Beach saat Megawati menyampaikan pidato politik emosional yang diwarnai dua kali tangisan.

Moncong putih artinya oposisi. Moncong biru bermakna koalisi karena biru adalah warna Partai Demokrat.

Maka kontroversi Moncong Putih versus Moncong Biru punah sudah ketika Megawati pada pidato pembukaan Kongres memutuskan partai itu tetap berada di jalur oposisi dan menjadi penyeimbang pemerintah.

Partai nasionalis ini enggan menjadi Moncong Biru dan menolak iming-iming koalisi yang digagas Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan PDIP.

PDIP, menurut Megawati, akan tetap mengikuti takdir sejarah bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyatlah yang akan diterima partainya, bukan kekuasaan yang diberikan oleh pihak lain.

Jika sampai banting haluan dari opisisi ke koalisi, ideologi PDIP bakal luntur dan hancur.

"Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah untuk mengangkat harga diri. Itu lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Kita tidak akan menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat," kata Megawati dalam pidato politik 45 menit yang berapi-api.

Pupus sudah

Begitulah. Mega sudah memutuskan oposisi, maka impian sejumlah kalangan dalam PDIP untuk koalisi pupus sudah. Impian untuk menjadi menteri di kabinet SBY bila ada pergantian pasca Pansus Bank Century, terpaksa harus dibuang jauh-jauh. Para penggagas Moncong Biru gigit jari.

Suasana pasca pidato politik di arena dan di luar Kongres berubah. Poster-poster dan spanduk yang ada tinggal yang mendukung oposisi. Yang pro koalisi sudah terpental.

Di pintu masuk Bali Inna Beach Hotel berjejer spanduk yang dipasang sejumlah DPD PDIP yang mendukung pilihan oposisi dan menolak koalisi. Orang-orang yang mengenakan kaos putih "Oposisi Harga Mati" makin banyak berlalu lalang dan bergerombol.

Di Jakarta, pekan lalu ada spanduk hitam yang dipampang dekat gerbang masuk Gedung DPR Senayan. Spanduk itu bicara soal pilihan menjadi oposisi atau koalisi.

Lambang PDIP tampak di tengah spanduk. Di sebelah kiri gambar banteng itu ada tulisan "Koalisi" berwarna putih dengan tanda panah di bawahnya menunjuk dua nama, yaitu Taufik Kiemas dan Puan Maharani.

Sedangkan tulisan "Oposisi" disisi lainnya juga disertai anak panah yang menunjuk Megawati dan Prananda (putera Megawati). Di atas lambang partai tertera pertanyaan: "Anda pilih yang mana?".

Spanduk itu kini telah hilang. Barangkali karena pilihan sudah jelas dan lugas. Megawati pilih oposisi. Itu garis partai yang sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi. Layar sudah dikembangkan. Itu berarti surut untuk mundur dan kembali lagi.

Sesaat setelah menegaskan keputusannya beroposisi, Megawati mengutip ucapan bijak ayahnya, Bung Karno, pendiri Republik ini.

"Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akibatnya. Majulah terus, jangan mundur. Mundur hancur, mandeg ambleg, bongkar, maju terus", katanya.

Kini tinggal para pengamat dan analis politik yang ramai mengomentari keputusan itu. Ada yang bilang bahwa bagi PDIP menjadi oposisi atau koalisi tidak banyak dampaknya bagi perolehan suara partai tersebut.

Pada Pemilu 2009 dengan posisi oposisi, PDIP hanya memperoleh 95 kursi (14 persen suara) dan menempati posisi ketiga setelah Partai Demokrat dan Golkar. Pada saat berkuasa pada Pemilu 2004, PDIP tidak bisa mempertahankan kemenangannya.

Artinya, PDIP kurang bisa memainkan perannya baik ketika berkuasa maupun ketika menjadi oposisi.

Saat berkuasa, tidak bisa menghasilkan kebijakan yang menarik publik. Saat beroposisi juga tidak bisa menggoreng isu yang menarik publik.

Itulah tantangan bagi pengurus baru PDIP periode 2010-2015.

Kongres PDIP: Baru Dibuka "Sudah Selesai"

Oleh : Akhmad Kusaeni

Kongres PDIP: Baru Dibuka Sudah Selesai

Sanur, Bali (ANTARA News) - Keajaiban ini hanya terjadi di Partai Banteng Moncong Putih. Baru saja dibuka pada Selasa, Kongres III Partai Demokrasi Perjuangan di Sanur, Bali, dianggap "sudah selesai". Padahal, Kongres dijadwalkan baru berakhir hari Jumat, atau tiga hari kemudian.

Agenda utama pemilihan ketua umum partai periode 2010-2015 sudah tuntas justeru sebelum kongres digelar. Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi ketua umum untuk lima tahun mendatang. Kongres tinggal ketuk palu mengesahkannya.

Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufiq Kiemas jauh-jauh hari sudah mengatakan kongres partai telah berakhir.

"Saya rasa semua anak cabang itu sudah memilih satu nama. Satu nama untuk Ketua Umum, satu nama untuk ketua DPC, dan satu nama untuk ketua DPD," kata tokoh yang biasa dipanggil TK itu.

Memang, hanya foto Megawati yang ada di baliho, spanduk, atau bendera, yang dipasang di hampir sepanjang jalan di Bali. Makin mendekati kawasan Sanur, tempat berlangsungnya Kongres III PDIP, baliho, spanduk dan bendera warna merah makin ramai dan meriah. Kalaupun ada gambar tokoh lain, sang tokoh memberi selamat atau dukungan kepada Megawati.

Tak ada foto calon ketua umum lain yang terlihat. Guruh Soekarnoputra, adik Megawati yang mencoba" menantang "kakaknya, sama sekali tak kelihatan jejak kehadirannya di arena Kongres.

Sejumlah pendukung Guruh pernah mencoba memasang spanduk dan poster Guruh di sekitar hotel lokasi Kongres, tapi dicopot oleh pendukung Megawati. Poster itu kini lenyap tak berbekas.

"Habis dicabuti orang-orang Puan (Maharani)," kata Tricahya Budi, dari tim sukses Guruh Soekarnoputra.

Alasan pencopotan poster Guruh, kata Budi, karena pihak lawan menganggap adanya calon ketua umum lain atau tandingan sebagai provokasi. Jadi hanya gambar Megawati yang boleh dipasang. Gambar calon lain dianggap sebagai provokator.

"Itulah sebabnya Mas Guruh gak datang ke Bali. Kami menolak Kongres yang tidak fair dan tidak mendengarkan suara ranting-ranting," katanya lagi.

Praktis Kongres III PDIP milik Megawati. Ini juga dibuktikan dengan ramainya kader-kader PDIP yang mengenakan kaos putih atau merah bertulisankan "Oposisi Harga Mati" di sekitar arena Kongres. Menjadi oposisi sejati jelas suara Megawati. Suara Taufiq Kiemas yang membuka peluang untuk koalisi dengan Partai Demokrat dan pemerintahan SBY nyaris tidak terdengar.

"Jempol darah untuk tetap oposisi. Hidup Megawati," teriak pemuda berkaos "Oposisi Harga Mati".

Dari Bawah

PDIP yang mengusung kembali Megawati meski perolehan suara partai terus merosot dan Megawati dua kali pecundang dalam pemilihan presiden diyakini sudah berproses dari bawah.

Mengapa Kongres Bali dianggap milik Megawati? Ini karena Guruh Soekarnoputra dan kandidat lain tidak bergerak cepat jauh-jauh hari. Mekanisme yang berlaku di partai mengatur bahwa siapa pun yang mencalonkan diri menjadi ketua umum PDIP, harus bergerak enam bulan lalu dengan mendekati PAC se-Indonesia yang berjumlah 7.000 se-Indonesia, 512 DPC, dan 33 PDD.

"Kalau sanggup mengumpulkan 3,600 PAC maka harapan untuk terpilih besar, " kata Taufiq Kiemas yang juga Ketua MPR itu.

Kesalahan Guruh adalah tidak mendekati PAC se-Indonesia, melainkan dia mendekati media massa.

"Kalau kampanye di koran, itu bukan gaya PDIP. Kita selalu memberi kesempatan semua orang boleh, tapi kampanye di desa-desa, bukan di media," sindir TK seperti dikutip sejumlah media.

Siapa Sekjen

Walhasil, yang ramai dibicarakan di Kongres III PDIP adalah siapa sekretaris jenderal yang bakal mendampingi Megawati lima tahun ke depan. Apakah tetap Pramono Anung, Sekjen sekarang, atau Tjahyo Kumolo yang kini menjabat Ketua Fraksi PDIP di DPR? Atau ada calon lain yang bisa saja pada menit-menit terakhir muncul?

Yang juga jadi wacana adalah dibuatnya struktur baru posisi wakil ketua umum. Sejumlah orang menilai struktur baru itu dibuat untuk menyiapkan dan mematangkan Puan Maharani. Jika Puan berhasil menduduki kursi wakil ketua umum, peluangnya untuk menjadi orang nomor satu PDIP pada 2015 akan terbuka lebar.

Naga-naga kearah mendorong Puan ke puncak pimpinan partai banteng moncong putih itu sudah kasat mata. Poster-poster Megawati lebih banyak didampingi oleh Puan ketimbang katakanlah Muhamad Prananda, putera kedua Megawati dari pernikahan dengan almarhum Letnan Satu Penerbang Surindro Suprijarso.

Dalam setiap konferensi pers penting, Puan selalu mendampingi Megawati. Dimana ada Megawati disitu ada Puan Maharani. Para pendukung Puan untuk menjadi wakil ketua umum PDIP juga sudah

"bergerilya di "arena Kongres. Pengurus PDIP Jawa Tengah dan Sumatera Selatan adalah para penyokong Puan.

Sekretaris PDIP Sumatera Selatan Gantada Aliandra terang-terangan mendukung Puan Maharani menjadi wakil ketua umum atau pelaksana harian.

Bagaimana dengan Puan sendiri?

"Saya siap," katanya dengan suara lantang dan tegas mirip Megawati.