Senin, 20 Juli 2009

MATI SYAHID ATAU MATI KONYOL?

Jakarta, (ANTARA News) - Ada sebuah lagu dari band kawula muda Amerika Serikat Panic at the Disco yang relevan dengan situasi sekarang, menyusul teror bom bunuh diri di Jakarta.

Judul lagu tersebut cukup panjang, yaitu "The only difference between martyrdom and suicide is the press coverage".

Lagu itu menggambarkan, hanya liputan media yang membedakan antara tindakan "jihad" dan "mati konyol bunuh diri" dalam sebuah serangan bom seperti yang meledak di JW Marriott dan Ritz Carlton baru-baru ini.

Media juga yang bisa mengangkat teroris itu sebagai pahlawan atau justeru sebaliknya menjatuhkannya menjadi makhluk biadad yang sangat terkutuk.

Lewat pemberitaannya, selama ini memang diakui, media bisa mempopulerkan kelompok atau tokoh-tokoh teroris sederajat dengan kaum selebritis. Siapa tak kenal dengan Osama bin Laden? Siapa pula yang tak kenal Noordin M Top yang benar-benar "top markotop" sebagai pelaku teror?

Media juga telah melambungkan nama organisasi teroris Al Qaeda atau Jemaah Islamiyah (JI). Setiap ada ledakan bom, laporan media selalu mengkaitkan dengan Al Qaeda atau JI.

Organisasi teroris itu digambarkan memiliki kemampuan beroperasi di seluruh penjuru dunia, sehingga siapa saja, di mana saja, akan bergidik bulu tengkuknya bila nama Al Qaeda atau JI disebut.

Secara sadar atau tidak, melalui pemberitaannya pula, media telah menjadi corong teroris untuk menyebarluaskan tindakan terornya atau mempopulerkan aktor-aktornya.

Di tangan para pemimpin redaksilah keputusan berada: apakah akan membuat tugas teroris untuk meneror menjadi lebih mudah dengan cara menyebarluaskan kekerasan dan menebar ketakutan? Atau, justeru sebaliknya memboikot pemberitaan teroris, sehingga tanpa liputan yang luas oleh media massa terorisme tidak akan berarti.

"Without media there can be no terrorism," kata Schmid & Graaf.

Tanpa liputan media diyakini tidak akan ada terorisme. Kekerasan teroris yang tidak diberitakan bisa diibaratkan dengan tumbangnya pohon di tengah hutan. Meskipun peristiwa terjadi, tidak semua orang sekampung tahu, jika tidak ada yang bercerita soal itu.

Simbiosis mutualisme

Hubungan media dan terorisme seperti simbiosis mutualisme. Masing-masing saling mengambil manfaat. Teroris memerlukan media massa untuk menyampaikan pesan dan tuntutannya, media massa memerlukan teroris untuk keperluan beritanya.

Teroris kuno sudah memperhitungkan pentingnya publikasi bagi tindakan teror yang dilakukannya. Kaum zealot yang melawan pendudukan Romawi di Palestina (66-70 M) lebih senang melakukan tindakan kekerasan pada hari libur dan di tempat keramaian dengan maksud berita mengenai teror itu bisa menyebar dengan cepat dan luas.

Di zaman modern dengan kemampuan televisi menyiarkan peristiwa secara langsung, teroris melipatgandakan kekuatan terornya dengan bantuan kamera.

Ahli terorisme Bowyer Bell mengungkapkan lelucon mengenai betapa teroris bergantung pada media. Syahdan, ketika sebuah pesawat dibajak, seorang pemimpin teroris memarahi anak buah yang berniat menghabisi sandera mereka.

"Jangan tembak, belum `prime time`," kata si pemimpin teroris yang rupanya sedang menunggu datangnya juru kamera CNN.

Jika diamati, pemboman di JW Marriott dan Ritz Carlton juga sudah diperhitungkan betul dari segi media dan publikasinya. Siapapun pelakunya dan dari manapun kelompoknya, teroris yang menteror Jakarta itu amat memahami bahwa terorisme adalah panggung teater yang selalu menjadi pusat sorotan dan pemberitaan media.

Sebagai panggung teater, menurut pakar terorisme Brian Michael Jenkins, serangan teroris selalu dirancang untuk menarik perhatian media elektronik dan pers internasional.

Teroris selalu menyerang simbol-simbol yang bisa menjadi fokus perhatian media.

Bom di Jakarta, Jumat (17/7), meledak tepat beberapa saat sebelum kesebelasan Manchester United (MU) datang untuk bertanding dengan tim Indonesian All Stars.

Tour MU ke Asia telah menjadi agenda pemberitaan internasional dan Rooney dkk direncanakan akan menginap di hotel JW Marriott.

Akibatnya, MU membatalkan kunjungan ke Jakarta, karena mereka menganggap kota itu kurang aman.

Dari segi waktu, teroris juga memperhitungkan waktu dengan amat cermat.

Ketika semua orang memuji pelaksanaan Pemilihan Presiden Indonesia yang berlangsung aman dan lancar, ledakan bom itu mencederainya. Seolah-olah bom itu ada kaitannya dengan kekecewaan terhadap pilpres dan menjadi polemik antar-elit politik dalam menyikapinya.

Dari segi pemilihan tempat dan waktu, teroris telah berhasil mencapai sasarannya dengan bantuan publikasi media.

Yang pertama, mereka berhasil memberi kesan bahwa Indonesia (setidaknya Jakarta) adalah tidak aman, sehingga sejumlah negara mengeluarkan travel warning.

Kedua, mereka sukses membuat para elit politik terlibat dalam polemik, saling tuding, dan saling memprovokasi.

Dimanfaatkan teroris

Secara tidak sadar, media tampaknya telah dimanfaatkan teroris seperti studi Schmid & Graaf mengenai penggunaan secara aktif dan pasif media oleh teroris.

Secara aktif, menurut studi itu, teroris menggunakan media antara lain untuk mempolarisasi pendapat umum, mengiklankan diri untuk menarik simpati dan anggota baru, membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi, membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah yang terkesan tidak berdaya, atau mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi halaman depan media.

Sementara secara pasif, teroris juga memanfaatkan media untuk mempelajari teknik-teknik penanganan terbaru terhadap terorisme dari laporan media, mendapatkan informasi tentang kegiatan terkini pasukan keamanan menghadapi teror yang sedang mereka lakukan, dan menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah keberanian aparat keamanan dan polisi secara individual untuk membasmi teroris.

Jika para pemimpin redaksi dan wartawan memahami studi Schmid & Graaf tersebut, mereka tentu akan sangat hati-hati dalam melakukan liputan dan pemberitaan mengenai terorisme. Salah salah media terjebak dalam kampanye "public relations" dan "branding" teroris yang semakin pintar memanfaatkan publikasi.

Mungkin sudah saatnya media memboikot pemberitaan tindak kekerasan teroris dan tidak memberikan oksigen publikasi bagi para pelaku teror. Kekerasan politik akan menurun drastis, atau mungkin bisa hilang sama sekali, kalau media tidak terlalu bersemangat untuk memberitakan tindak kekerasan teroris.

Di tangan media lah seorang teroris dicitrakan sebagai mati syahid atau mati konyol dalam pemberitaannya.

Selasa, 14 Juli 2009

"DUKUN POLITIK" SATU PUTARAN

Oleh Akhmad Kusaeni

Denny J.A., ahli jajak pendapat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), bukan hanya seorang pembuat berita (newsmaker), tapi sesungguhnya ia adalah pembuat raja (kingmaker).

Hasil survei LSI bahwa pemilihan presiden akan berlangsung satu putaran yang dimenangi pasangan SBY-Boediono ternyata terbukti. Meskipun KPU baru resmi akan mengumumkan hasil penghitungan pada 27 Juli 2009, boleh dibuktikan bahwa analisis Denny mengenai kemungkinan Pilpres satu putaran betul-betul tak terbantahkan.

Oleh karena presisi hasil surveinya dengan kenyataan yang terjadi, ada yang berkelakar bahwa LSI bukan melakukan survei, tetapi melakukan praktek paranormal.

"Denny adalah dukun politik satu putaran," gurau Ilham Bintang, pemilik tabloid dan program infotainment Cek&Recek, saat pemberian PWI Jaya Award kepada Denny yang dinobatkan sebagai "Newsmaker of the Election 2009" di Hotel Nikko Jakarta, Selasa (14/7).

Ilham yang duduk satu meja dengan Denny bercerita bahwa beberapa waktu lalu sejumlah pemimpin redaksi diundang ke rumah pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas. Saat para tokoh pers menyelamati SBY yang terpilih kembali, seseorang mengingatkan agar menunggu hasil penghitungan resmi KPU pada 27 Juli nanti.

"Sekarang baru menurut Denny J.A," cerita Ilham. Iklan "Pilpres Satu Putaran Saja" menampilkan wajah SBY-Boediono merebak di media massa menjelang Pilpres 8 Juli 2009. Iklan itu berasal dari Lembaga Studi Demokrasi (LSD) dan Konsultan Citra Indonesia.

Iklan ini muncul bersamaan dengan dipublikasikannya hasil survei LSI yang menyebutkan 63,1 persen suara di tangan SBY-Boediono.
Pengalaman membuktikan prediksi survei LSI pada sekitar 200 Pilkada di Tanah Air hampir tidak pernah meleset. Namun demikian, Denny mengakui, bahwa dirinya sempat harap-harap cemas saat hari pencontrengan 8 Juli lalu.

Apakah kali ini hasil surveinya akurat, sementara dia sudah memasang iklan Pilpres satu putaran dimana-mana.

Apalagi iklan satu putaran itu mengundang kontroversi. Bahkan saat debat Capres, Jusuf Kalla sempat menuding iklan Denny adalah ilegal dan tidak sesuai dengan demokrasi yang sedang dikembangkan di Indonesia.

"Kalau sampai meleset hasilnya, saya bisa digantung," cerita Denny yang didampingi isterinya.


Sempat deg-degan
Sang isteri yang memantau hasil penghitungan cepat di televisi, kata Denny, tampak sangat tegang dan deg-degan. Hari itu adalah hari pertaruhan bagi suaminya. Karier dan reputasi Denny akan sangat tergantung dari hasil penghitungan cepat saat itu.

Dua jam setelah penghitungan suara di TPS-TPS ditutup, sejumlah stasiun televisi mengumumkan hasil penghitungan cepat bahwa SBY-Boediono menang telak. Artinya, Pilpres ditengarai hanya berlangsung satu putaran. Denny pun mencium isterinya.

"Ilmu sosial telah memungkinkan semua ini terjadi. Dengan hanya sekitar 2000 responden, bisa merefleksikan suara 175 juta orang untuk sesuatu yang akan terjadi tiga bulan mendatang," kata Denny dengan wajah berbinar-binar.

Dengan demikian, Denny lebih senang disebut sebagai periset jajak pendapat atau "poll master", ketimbang dibilang sebagai "dukun politik". "Ini murni ilmiah, bukan dukun," katanya.

Metodologi survei yang dipakai, pemilihan responden yang digunakan, dan pengolahan data sampel yang masuk, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itulah, LSI pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi sebuah undang-undang yang melarang publikasi jajak pendapat.

"Kalau paranormal menyatakan pada masa minggu tenang bahwa partai anu atau Capres anu yang bakal menang tidak dilarang, masak lembaga survei yang ilmiah tidak boleh mempublikasikan hasil jajak pendapat," katanya.

Denny merasa senang karena akhirnya MK memutuskan publikasi hasil jajak pendapat bisa dilakukan sebelum Pemilu dan penghitungan cepat ("quick count") bisa diumumkan setelah pencentangan ditutup.


Khawatir ditunggangi
Memang ada pihak-pihak yang mempertanyakan kredibilitas dan independensi lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat semacam LSI. Ada kekhawatiran jika lembaga-lembaga survei tersebut tidak dijamin bebas. Publikasi hasil jajak pendapat bisa dimanipulasi oleh politisi dan partai-partai politik untuk kepentingan menggalang dukungan publik.

Menurut para pengkritiknya, hasil polling secara tidak fair telah memengaruhi orang untuk memilih calon presiden tertentu atau partai tertentu. Fenomena itu disebut sebagai mentalitas gerbong kereta ("bandwagon effect") dimana orang akan ikut pihak yang menang atau pihak yang populer.

Secara kejiwaan, orang cenderung ingin berada di pihak yang menang dan tidak ingin ikut tenggelam bersama yang kalah.

Dengan membiarkan publikasi jajak pendapat sebelum Pemilu, menurut para penentangnya, berarti rakyat melepaskan peranannya untuk memilih sendiri pemimpin mereka dan mereka memilih calon yang paling tinggi ratingnya dalam survei. Ini sama saja dengan menjadikan lembaga penyelenggara jajak pendapat sebagai "pembuat raja" (kingmaker).

Capres Megawati Soekarnoputri, misalnya, dengan keras menentang iklan Pilpres satu putaran yang digencarkan Denny.

"Pilpres satu putaran. Ini kesombongan yang luar biasa dari lembaga survei," tegas Megawati dalam suatu kampanye. Capres Jusuf Kalla juga menuding Pilpres satu putaran sebagai bentuk keangkuhan politik.

"Saya juga ingin menang satu putaran. Tapi itu menggambarkan kesombongan penguasa. Jadi biarkan rakyat yang menentukan satu putaran atau dua putaran," kata JK.

Kritikan juga datang dari para akademisi. Pengamat politik Irman Putra Sidin, misalnya, yakin tidak mudah mencapai pelaksanaan Pilpres satu putaran. Selain syarat yang tak gampang, pemilu presiden yang tercantum di konstitusi memiliki filosofi yang tidak sederhana.

"Pilpres satu putaran itu tidak gampang. Harus menang di 50 persen provinsi se-Indonesia dan meraih suara minimal 20 persen di masing-masing provinsi," tegasnya.

Menurut Irman, peraturan tentang Pilpres yang tertuang dalam pasal 6 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan perihal Pilpres secara gamblang. Meskipun seorang Capres memperoleh 70 persen suara, tetapi kalau sebaran suaranya tidak lebih dari setengah jumlah total provinsi se-Indonesia (17 provinsi) dan mendapat 20 persen suara, maka akan ada putaran kedua.

"Kecuali saat pilpres putaran kedua, siapa yang paling banyak suaranya dialah yang menang," katanya.

Tapi kenyataannya, pasangan SBY-Boediono bisa menang satu putaran dengan memenuhi persyaratan konstitusi tersebut. Apakah itu terjadi karena adanya iklan dan kampanye satu putaran atau hal lainnya masih bisa diperdebatkan.


Pengaruh kuat
Akan tetapi, Denny tidak membantah bahwa hasil jajak pendapat dapat berpengaruh kuat pada pemilih, terutama mereka yang bingung dan tidak punya "party identification".

"Kami adalah pembuat opini publik," tegasnya tidak membantah kalau publikasi hasil surveinya telah mempengaruhi pilihan rakyat.

Tapi disitulah justru sumbangsih orang per orang macam Denny dalam proses demokratisasi. Sebab, kata Denny, demokrasi dan Pemilu itu bukan hanya milik politisi, bukan pula cuma mainan para jenderal. Demokrasi dan pemilu itu juga milik seluruh rakyat, termasuk orang per orang semacam dirinya.

"Penghargaan ini bukan untuk saya, tapi yang lebih penting adalah penghargaan buat tradisi demokrasi baru, dimana setiap orang dan setiap lembaga bisa berpartisipasi untuk mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat," kata Denny.

Ia mengatakan dengan Pilpres satu putaran akan banyak sekali manfaat yang didapat. Secara ekonomis, biaya Pilpres bisa dihemat Rp4 triliun. Secara politis, partai-partai yang terbelah bisa cepat rukun dan rekonsiliasi. Pemerintahan yang ada bisa melanjutkan kerjanya sampai akhir masa jabatannya pada bulan Oktober mendatang. Sementara masyarakat yang terbelah bisa bersatu kembali.

Kampanye Pilpres satu putaran adalah ijtihad dan ibadah Denny yang ternyata memang didukung oleh masyarakat. "Ini sumbangsih saya," katanya.

Siapapun Presiden Terpilih Rakyat Harus Menang

Oleh Akhmad Kusaeni

Bangsa Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden pilihannya pada 8 Juli 2009. Yang penting, siapapun presiden dan wapres yang terpilih nanti, rakyat harus menang. Tidak boleh rakyat kalah.

Oleh karena ada tiga pasang Capres/Cawapres, tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Itu wajar, karena para kandidat itu telah menyatakan siap menang dan siap kalah. Itulah indahnya demokrasi. Kalah-menang tidak menjadi alasan untuk membenci, apalagi membikin onar dan kekacauan.

Pada debat Capres putaran terakhir, moderator menanyakan apa yang akan dilakukan masing-masing kandidat jika kalah. Megawati, Capres nomor urut 1, menyatakan akan terus mengabdi kepada bangsa dan negara, terutama melayani rakyat wong cilik.

Susilo Bambang Yudhoyono, Capres nomor urut 2, menyatakan akan menyalami presiden terpilih pada kesempatan pertama. "Saya akan mengucapkan selamat dan akan mendukung penuh pemerintahannya," kata SBY yang dikenal bersikap satria.

Sedangkan Jusuf Kalla, capres nomor urut 3, berkeyakinan dialah yang akan menjadi pemenang. "Tapi kalau ternyata kalah, saya akan pulang kampung," katanya tanpa beban disambut tepuk tangan riuh rendah hadirin.

Jadi, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran Pilpres akan kacau. Jika elite politik dan para Capres sudah mendeklarasikan Pemilu damai, tak perlu risau konflik pasca Pemilu di Iran akan terjadi di Tanah Air.

Pilpres 2009 merupakan pemilihan presiden secara langsung untuk kedua kalinya. Yang pertama pada tahun 2004. Pergantian kekuasaan waktu itu berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara.

Dari presiden pertama RI Soekarno ke Soeharto terjadi revolusi berdarah yang banyak memakan korban jiwa. Dari Presiden Soeharto ke Habibie pada 1998 didahului demonstrasi mahasiswa yang berujung pada kerusuhan Mei. Dari Presiden Habibie ke Abdurahman Wahid diwarnai manuver politisi di DPR yang menolak pertanggungjawaban presiden.

Sementara Abdurahman Wahid lengser dan diganti Megawati pada Juli 2001 setelah konflik tak berkesudahan dengan parlemen.

Selama kurang dari enam tahun, Presiden berganti selama empat kali. Pemerintahan jatuh bangun dan sangat tidak stabil. Perekonomian runtuh, pembangunan stagnan, dan hiruk pikuk politik begitu ramai dan bising.

Mulai stabil

Tahun 2004 pergantian presiden mulai stabil. Masa pemerintahan Megawati (23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004) ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Dalam masa pemerintahannya lah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun, sejarah kemudian mencatat, Megawati menjadi korban dari sistem Pilpres dipilih langsung yang dibangunnya.

Ia mengalami kekalahan (40 persen - 60 persen) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

Pilpres langsung ini, seperti dikemukakan pengamat politik dari Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardhani, merupakan inovasi demokrasi Indonesia yang perlu disyukuri dimana bangsa Indonesia betul-betul bisa melaksanakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta lebih jurdil.

Oleh karena itu, bagi yang optimistis, Pilpres 2009 ini pun akan berlangsung dengan aman, damai dan lancar serta tepat waktu. Terlepas dari adanya ribut-ribut mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT), kampanye hitam, dan sikut menyikut antar tim sukses, tidak ada arus utama yang menghendaki Pemilu ditunda atau KPU dibekukan.

Putera terbaik

Bagi bangsa Indonesia, tiga Capres yang ada merupakan putera puteri terbaik bangsa. Ini bukan pilihan seperti makan buah simalakama dimana konsekuensinya semuanya buruk dimana bapak atau ibu yang mati. Tapi ini adalah pilihan terbaik di antara yang baik. Siapapun Capres yang menang, itu akan merupakan pilihan bersejarah bagi bangsa Indonesia.

Jika Megawati menang, misalnya, maka ini akan mengukuhkan kembali penghargaan bangsa Indonesia kepada kaum perempuan. Di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dimana pemimpin biasanya diutamakan dari kaum laki-laki, ternyata seorang wanita bisa menjadi Presiden.

Dalam kaitan gender dan penghargaan terhadap wanita, Indonesia jauh lebih maju dari Amerika Serikat yang sampai saat ini tidak pernah memiliki presiden atau wakil presiden dari kaum hawa.

Jika SBY terpilih lagi, ini menunjukkan bahwa rakyat puas dengan pemerintahan sekarang dan ingin stabilitas politik, pemberantasan korupsi, dan pembangunan dilanjutkan. Ini berarti legitimasi SBY makin menguat seiring tingkat kepuasan rakyat.

Sedangkan jika Jusuf Kalla yang terpilih, maka itu akan merupakan tonggak sejarah dimana mitos selama ini bahwa presiden itu harus orang Jawa tidak berlaku lagi. Presiden dipilih bukan lagi atas dasar etnis, agama dan gender, tapi atas dasar kemampuannya memimpin dan membawa rakyat ke pintu gerbang kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan. Bahwa siapapun, dari suku apapun, bisa menjadi presiden.

Rakyatlah yang akhirnya berdaulat. Merekalah yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi pemimpinnya lima tahun ke depan. Kalau mereka puas dengan pemerintahan sekarang, SBY sudah pasti terpilih kembali.

Sebaliknya, kalau suasana hati dan kebatinan rakyat selama lima tahun terakhir ini kurang puas dan mereka menginginkan perubahan, tentu Megawati yang menang karena Capres ini paling giat menjanjikan perubahan.

Atau, bisa juga rakyat puas dengan pemerintahan sekarang, namun ingin percepatan kesejahteraan dan kemakmuran, maka Jusuf Kalla bisa menjadi pilihan. Capres ini memiliki slogan kampanye "Lebih cepat lebih baik".