Rabu, 17 Juni 2009

SIAPA PEDULI PANCASILA? Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 17/6 (ANTARA) – Di tengah hingar bingarnya kampanye pemilihan presiden, peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni nyaris tidak terdengar gaungnya. Meminjam istilah Prof. Azyumardi Azra, ”Pancasila nyaris absen dalam wacana, diskusi, dan kampanye politik sekarang ini”.

Ironi memang. Para Capres dan tim suksesnya lebih senang mengusung isu Neolib ketimbang Pancasila yang menjadi dasar dan fondasi bangsa. Isu Ekonomi Pancasila, misalnya, seolah tabu diangkat karena dikhawatirkan bisa menurunkan elektabilitas Capres. Kalau elite politik dan calon pemimpin bangsa saja enggan membicarakan Pancasila, apalagi masyarakatnya.

Lalu, siapa yang masih peduli Pancasila?
Ada. Salah satunya adalah As”ad Said Ali, yang kebetulan kini menjabat Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Ia adalah penulis buku ”Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa” yang diterbitkan LP3ES (2009).

As’ad mengaku sudah kagum dan bangga terhadap Pancasila sejak mengikuti kuliah mata pelajaran Pancasila di Universitas Gajah Mada tahun 1969. Yang mengajar waktu itu Profesor Notonagoro, tokoh yang dianggap pelopor pengkajian Pancasila secara ilmiah.

Namun demikian, di era reformasi, Pancasila yang dikagumi As’ad dipersoalkan oleh sejumlah anak bangsa. Saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan, Pancasila dijadikan kambing hitam. Menurut mereka, hanya liberalisme dan kapitalisme yang terbukti memenangkan perang ideologi dunia bisa menyelamatkan Indonesia. Bahkan, ada salah seorang tokoh yang terang-terangan menyatakan diri “Aku seorang neoliberalis”. Sementara yang lain berani mengatakan, “tinggalkan Pancasila, ikutilah neolib.”

Sekarang ini berbicara tentang Pancasila bisa membuat sementara orang mencibir. Hal ini tidak lain karena terdapatnya disparitas dan kesenjangan antara kelima sila Pancasila dan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dikemukakan KH. Mustofa Bisri yang memberi pengantar dalam buku setebal 340 halaman itu bahwa kehidupan berbangsa dan bermasyarakat semakin menjauh dari Pancasila.

Menurut tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu, kondisi di negeri berketuhanan ini sudah seperti tanpa Tuhan atau “kebanyakan tuhan”. Negeri berkemanusiaan yang adil dan beradab ini sudah seperti tidak kenal lagi dengan perikemanusiaan. Persatuan Indonesia sudah seperti dilecehkan. Rakyat seperti tidak terwakili. Keadaan sosial hanya bagi segelintir orang.

Maka orang pun bertanya, “Dimanakah kau, Pancasila? Masihkan kau ada menafasi bangsa ini?”. Pertanyaan Mustofa Bisri adalah pertanyaan kita semua sekarang ini.

Hidupkan Pancasila
Buku As’ad Said Ali adalah sumbangannya unuk “menghidupkan” kembali Pancasila. Buku yang ini tidak hanya merunut dari awal terumuskannya Pancasila hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpi-nya Bung Karno; Orde Barunya Pak Harto; sampai dengan zaman “reformasi” sekarang ini, tetapi juga mencoba meyakinkan akan pentingnya — bahkan semakin pentingnya — Pancasila dewasa ini.

Lebih jauh, penulis berusaha keras menjelaskan kembangkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan Dasar Negara, tetapi juga membahas kaitan di antara Pancasila dengan Agama, menjelas-jabarkan sila-silanya, bahkan menjelaskan secara rinci ideologi-ideologi lain yang “mengepung” Pancasila.

Pendek kata, kata Mustofa, buku ini tidak hanya mencoba mengembalikan “citra Pancasila”, tapi juga berusaha membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa akan datang.

As’ad Said Ali, yang lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada tahun 1949 dan selama kariernya di BIN bertugas dan berkeliling ke Timur Tengah, Eropa, Amerika, Afrika dan Asia, sangat yakin bahwa Pancasila adalah anugrah Tuhan buat bangsa Indonesia. Terlepas dari pasang surutnya dalam kehidupan bangsa, Pancasila telah membuktikan diri sebagai ”common platform” yang paling cocok dan mampu bertahan sebagai falsafah dan dasar negara Indonesia.
Selama periode pascareformasi, secara tidak disadari energi Pancasila berproses sevara otomatis. Coba renungkan, berbagai macam konflik dan musibah luar biasa besar mampu diatasi. Bandingkan dengan Myanmar ketika terjadi bencana alam tsunami dan gempa bumi. Indonesia membuka diri dan menerima uluran bantuan luar negeri, sedangkan Myanmar membatasi diri karena khawatir dengan campur tangan asing yang mendompleng masuknya bantuan.

Sikap dan cara Indonesia kemudian dijadikan code of conduct yang disepakati oleh beberapa negara pada pertemuan informal “Shangrilla Dialog” di Singapura, Juni 2008. Sikap dan kebijakan Indonesia itu didasarkan pada prisip kemausiaan yang beradab, berjiwa besar, dan agamis. Padahal, saat itu, Aceh dalam konflik politik dan banyak pihak khawatir dengan dampak masuknya orang-orang luar. Justru perdamaian yang terwujud.

Saat terjadi musibah tsunami, kesetiakawanan yang melandasi terwujudnya sila “Persatuan Indonesia” dan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” muncul secara serempak. Bantuan kemanusiaan mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air membantu rakyat Aceh tanpa ada yang memberi komando.

Energi Pamcasila
Energi Pancasila itulah, menurut As’ad, yang muncul dan mendorong terciptanya perdamaian di berbagai daerah konflik. Umumnya, konflik-konflik tersebut, tidak terkecuali konflik di Ambon dan Poso, ditengarai ssebagai bagian dari konflik politik yang tidak terlepas dari provokasi dan campur tangan halus pihak luar. Setelah masa puncak konflik dapat dilewati, muncul penyesalan mendalam dari kedua belah pihak.

Pengalaman pribadi As’ad tentang energi Pancasila yang mampu memotivasi perdamaian dialaminya dalam konflik Poso. Hampir dua tahun setelah perjanjian Malino II di tandatangani, interaksi di antara komunitas muslim yang berpusat di daerah pesisir Poso dengan komunitas kristen di Tentena sangat minim. Padahal perdamaian nyata terjadi kalau hubungan sehari-hari berlangsung normal.

Pada pertemuan pertama, As’ad menyaksikan sendiri tokoh kedua belah pihak, yakni Ustad Adnan Arsal dan Pendeta Damanik, saling merangkul sambil menangis. Keduanya menyatakan tidak tahu sebab-musabab kenapa sampai terjadi konflik. Akhirnya muncul kesepakatan untuk menciptakan perdamaian dan melupakan. Dengan pertemuan kedua tokoh itu, kemudian disusul pertemuan informal wakil kedua komunitas dalam jumlah besar, segenap provokasi dalam bentuk teror tidak mampu mengoyahkan perdamaian.

Kebersamaan dan penghormatan terhadap kebinekaan mendorong mereka menciptakan perdamaian. Itulah energi Pancasila yang muncul dengan sendirinya pada saat-saat kritis. Bila “tenaga dalam” itu dapat dikelola dengan benar, Indonesia tidak pelak menjadi negara besar yang disegani.

Menurut As’ad energi Pancasila itu juga menggerakkan perdamaian dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Dewasa ini, solusi konflik di Aceh dan Papua dijadikan model oleh dunia internasional untuk mengangani konflik serupa.
As’ad sangat yakin, energi Pancasila tersebut tidak dapat dengan mudah musnah dari bangsa Indonesia. Secara tidak disadari, karena melekat dengan budaya, energi Pancasila menjadi bagian tak terpisahkan khususnya dalam semangat kebersamaan.

Rakyat kecil justru mempersalahkan para elite yang tidak mampu merumuskan langkah atau kebijakan yang sesuai dengan Pancasila secara tepat. Tidak sedikit elite nasional dan calon permimpin kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat, tetapi kehilangan masa depan karena tidak punya idealisme. Silau terhadap budaya materi dari luar dan melupaka keluhuran budaya spiritual bangsa sendiri.

Bukankah banyak pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa berpegang teguh pada nilai luhur budaya sendiri merupakan sumber kekuatan. Perhatikan Jepang, China, India, dan lain-lain, yang mencapai kemajuan luar biasa. Bandingkan pula, misalnya, dengan Filipina yang larut dalam budaya luar.

Saatnya, bangsa ini menengok kembali kepada Pancasila lalu merevitalisasinya.

Senin, 15 Juni 2009

Bulcke Menjual 1 Miliar Produk Nestle Per Hari

Singapura (ANTARA News) - Soal makan dan minum ternyata sebuah bisnis yang serius dan bisa meraup keuntungan besar dari penjualan yang setara jumlah APBN nasional sekitar Rp1.037 triliun per tahunnya.

Tidak percaya? Tanyalah Paul Bulcke, CEO Nestle, perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss dan sedang melakukan ekspansi bisnis ke kawasan Asia Tenggara.

"Ini bisnis yang serius. Kami melihat pasar yang masih terbuka luas. Perusahaan kami mencatat pertumbuhan 15 persen di kawasan Asia Tenggara tahun lalu," katanya saat bertemu dengan wartawan ASEAN di Singapura, akhir pekan lalu (13/6).

Dengan populasi penduduk hampir 600 juta jiwa, kawasan Asia Tenggara merupakan peluang pasar yang menggiurkan bagi Nestle yang dikenal sebagai perusahaan terdepan dalam bidang usaha nutrisi, kesehatan dan keafiatan.

Perusahaan yang mempunyai tagline Good Food, Good Life yang bermarkas di Swiss itu sudah berkiprah selama lebih 140 tahun. Bulcke tahu persis sejarah perusahaan yang memiliki 280.000 karyawan dan 456 pabrik di 84 negara itu. Ia juga tahu persis akan dibawa kemana perusahaan yang angka penjualan tahun 2008 saja mencapai CHF 109,9 miliar (sekitar Rp1000 triliun), atau kurang lebih sama dengan APBN Indonesia setiap tahunnya.

"Jika kita bicara mengenai nutrisi 100 tahun lalu, itu adalah bagaimana memberi makan orang asal kenyang. Namun jika kita bicara nutrisi sekarang, adalah bagaimana memberi makan orang dengan rasa yang lezat namun rendah kalori," kata Bulcke yang diangkat menjadi CEO Nestle bulan April 2008 lalu.

Pada tahun 1866, Henri Nestle, seorang ahli farmasi asli Jerman, mengembangkan sereal bayi berbasis susu yang berhasil membantu mengatasi masalah kekurangan nutrisi pada bayi saat itu. Henri Nestle menggabungkan pengetahuan, ketrampilan dan penelitian yang pernah dilakukan dalam mengembangkan "formula ajaib" tersebut yang kemudian diberi nama Farine Lactee Henri Nestle, dan terbukti mampu menyelamatkan jiwa banyak bayi.

Farine Lactee, menurut Presiden Direktur Nestle Indonesia Peter Vogt, diekspor ke kepulauan Nusantara sejak tahun 1873. Beberapa tahun kemudian, para pedagang mendatangkan produk susu kental manis MILKMAID, yang kemudian populer dengan merek "Tjap Nona". Empat puluh tahun kemudian susu bubuk kian populer di Indonesia dan Nestle DANCOW memimpin pasar.

Terbesar di dunia

Begitulah. Dari produsen sereal bayi berbasis susu, kini Nestle berkembang menjadi produsen makanan dan minuman terbesar di dunia yang penjualannya melebihi perusahaan kompetitornya, seperti PepsiCo, Kraft Foods, Unilever, Coca Cola, Kellogg's dan Sara Lee.

Nestle kini memiliki 10.000 produk makanan dan minuman yang sangat dikenal di seluruh penjuru dunia, dikonsumsi setiap saat sepanjang hari, dari pagi sampai malam. Konsumennya dari bayi dalam kandungan, anak-anak sampai orang dewasa, kakek dan nenek.

Produk Nestle mulai dari susu bubuk, kopi, coklat dan kembang gula, bumbu masak dan hidangan siap saji, sampai dengan makanan hewan.

"Kami menjual 1 miliar produk setiap harinya," kata Bulcke di Pusat Riset dan Pengembangan (R&D) Produk Nestle di Singapura.

R&D di Singapura merupakan salah satu dari 23 Pusat Riset dan Pengembangan Nestle yang tersebar di seluruh dunia. Riset dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para konsumen yang bukan saja menginginkan nutrisi yang enak dan lezat, tapi juga sehat wal afiat.

Moto Good Food, Good Life, misalnya, menggambarkan komitmen Nestle untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketenaran merek-merek produknya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu makanan dan minuman yang berkualitas, bernutrisi, aman untuk dikonsumsi, serta lezat rasanya, dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Sebagai contoh, riset terus menerus dilakukan untuk membuat mie instan yang digemari di kawasan Asia berkurang kadar garamnya dan makin rendah kalorinya agar konsumen tidak perlu takut kegemukan.

Cita rasa lokal

Disamping itu, riset juga dilakukan agar produk Nestle bisa memenuhi kebutuhan dan cita rasa penduduk lokal. Berlainan dengan Coca Cola yang dimanapun rasanya nyaris tidak berbeda, kopi produksi Nestle yang dinamakan Nescafe rasanya disesuaikan dengan selera lokal. Ada lebih 200 jenis Nescafe yang berbeda cita rasanya karena disesuaikan dengan konsumen di Polandia, Rusia, Jepang, dan Indonesia.

"Kami punya produk Nescafe Kopi Susu Tubruk yang sesuai dengan selera masyarakat Indonesia. Kopi tubruk amat disukai orang kita," kata Brata T. Hardjosubroto, Head of PR Nestle Indonesia.

Setelah diperkenalkan di Swiss tahun 1938, Nescafe menjadi kian populer pada Perang Dunia kedua sebagai salah satu pilihan kopi di Eropa. Setelah beberapa tahun diekspor ke Indonesia, Nescafe mulai diproduksi di Lampung sejak 1980 dengan menggunakan bahan baku biji kopi yang dihasilkan para petani setempat.

Dengan jangkauan operasi hampir di seluruh negara di dunia dan meningkatnya jumlah kelas menengah, Bulcke melihat pertumbuhan pasar bagi Nestle masih sangat terbuka lebar.

Meskipun Nestle merupakakan perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia, sesungguhnya hanya menguasai 1,7 persen dari pasar dunia. Sementara 20 perusahaan nutrisi papan atas dunia digabung sekalipun hanya bisa menguasai 9 persen dari pasar dunia.

Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu pasar potensial perusahaan berlambang burung yang sedang memberi makan anaknya di dalam sarang itu. Dalam jumpa pers tersebut, Bulcke menekankan bahwa "Nestle telah beroperasi di bagian dunia ini selama hampir 100 tahun. Kawasan ASEAN adalah bagian yang sangat penting dalam bisnis Nestle, dan komitmen kami yang terus berlanjut serta investasi yang tengah berjalan menunjukkan keyakinan kami pada kawasan ini."

Saat ini Nestle memiliki 23 pabrik dan sekitar 14.500 tenaga kerja di pasar ASEAN. Nestle akan melanjutkan investasinya di ASEAN untuk memperluas bisnis dan fasilitas pabrik, termasuk di Indonesia untuk mendukung perluasan pabrik susu Kejayan di Jawa Timur.

Perusahaan itu memiliki komitmen lebih dari 250 juta CHF investasi modal untuk operasinya di ASEAN pada 2009. Pada 2008, bisnis Nestle di kawasan ini menunjukkan pertumbuhan nyata 15 persen dan penjualan sekitar 5 miliar CHF.

Di Indonesia, Nestle telah menginvestasikan lebih dari 100 juta dolar AS yang merupakan nilai penanaman modal terbesar ketiga Nestle di dunia. Perusahaan itu akan menginvestasikan 29 juta CHF dana pada tahun 2009, yang mendukung perluasan pabrik susu Kejayan di Jawa Timur, untuk memenuhi meningkatnya permintaan.

Setelah berakhirnya proyek ini, pabrik di Kejayan akan menjadi satu dari 10 pabrik pemrosesan susu terbesar Nestle di dunia. Bukan hanya 28.000 peternak sapi perah di Jawa Timur yang diuntungkan dari proyek ini, tapi juga seluruh masyarakat.

Anak-anak Indonesia bisa minum susu dengan harga yang terjangkau. Mereka bisa tumbuh sehat dan cerdas serta menjadi generasi penerus yang lebih kuat dan bisa diandalkan. (*)
COPYRIGHT © 2009

Rabu, 10 Juni 2009

KAMPANYE HITAM DAN RACUN POLITIK

Jakarta (ANTARA News) - Kampanye hitam (black campaign) telah menjadi senjata pemusnah para tim sukses dan konsultan politik.

Menjelang masa akhir kampanye Pemilihan Presiden, senjata pemusnah itu makin sering ditembakkan dengan tujuan mengalahkan lawan dan mempengaruhi pemilih di bilik suara pada 8 Juli 2009.

Isu neolib diangkat, jilbab bagi ibu negara dipersoalkan, pengusaha yang jadi penguasa dipertanyakan, kuda seharga Rp3 miliar diramaikan, kerusuhan Mei 1998 dibuka kembali, dan masalah agama dipolitisasi.

Tim sukses "menggoreng" isu-isu negatif tersebut untuk mengangkat kandidat dan menghancurkan kandidat lain.

"Pemilihan presiden itu seperti perang nuklir: Siapa yang menyerang lebih dahulu, dialah yang menang," kata ahli politik Ken Swope.

Medan perang para kandidat itu adalah media. Pertarungan dikemas dalam berita, talkshow dan iklan politik.

Oleh karena kampanye di lapangan dan pengerahan massa terbatas, maka pertarungan antar kandidat lebih panas dan lebih seru di media, terutama di televisi. Masing-masing stasiun televisi "semuanya mengklaim diri sebagai TV Pemilu", memiliki program dan liputan khusus soal Pilpres.

Strategi ilmu perang "menyerang adalah pertahanan yang terbaik", dipraktikan. Tim sukses saling serang dan saling bantah. Capres-Cawapres saling sindir dan berbalas pantun. Media bertepuk tangan. Televisi apalagi.

Rating naik dengan berita-berita mengumbar konflik. Talkshow televisi pun diberi label "Ring Politik", seolah-olah para Capres-Cawapres diadu dalam sebuah pertandingan tinju mulut dan silat lidah. Untuk mendinginkan suasana perdebatan, musik dan lagu dimainkan.

Politik telah menjadi hiburan. Politisi berubah menjadi selebriti. Memilih Presiden dan Wapres dikemas mirip kontes Indonesian Idol. Kandidat ditampilkan bicara, menyampaikan visi misi, dikomentari, lalu pemirsa disuruh memilih siapa idolanya. Media ramai-ramai melakukan polling. Ketik-spasi-reg menjadi trend bagi media untuk mengukur dukungan dan elektabilitas Capres-Cawapres.

Dijamin dapat liputan

Roger Ailes, pengamat politik dan media dari AS, mengatakan ada tiga hal yang media selalu tertarik untuk memberitakan: gambar (pictures), kesalahan (mistakes), dan serangan (attacks).

"Jika anda membutuhkan publikasi, maka anda harus menyerang. Dijamin anda akan mendapat liputan media," kata Roger Ailes.

Ailes mengatakan, publikasi melalui pemberitaan media akan lebih efektif dampaknya ketimbang memasang iklan politik. "Anda akan mendapat 30 sampai 40 persen dampak lebih efektif dalam pemberitaan dibanding lewat iklan. Anda akan menjangkau lebih banyak pemirsa dan lebih dipercaya," katanya.

Pendapat Ailes ini diamini para tim sukses. Ada Capres-Cawapres yang sebetulnya enggan untuk melakukan kampanye negatif, tapi konsultan politiknya menasehati bahwa jika tidak melakukan serangan, maka anda akan jadi abu.

Capres lain bersemangat untuk menyerang dengan keras dan menyewa konsultan politik dan tim sukses yang galak dan berlidah api.

"Waktu kampanye tinggal beberapa minggu. Kami harus menyerang: api lawan api," kata seorang tim sukses.

No gut, no glory," kata seorang Cawapres, seolah meneguhkan bahwa jika tidak ada keberanian (menyerang), kemenangan tidak bisa diraih.

Sepanjang sejarah

Sejarah membuktikan bahwa politisi sejak zaman Romawi telah mengeksploitasi ketakutan, intimidasi dan prasangka terhadap saingan politiknya dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan atau sebaliknya menjatuhkan kekuasaan..

Cicero, misalnya, dikenal sebagai orator ulung, tapi banyak orang lupa bahwa dia juga seorang pelaku kampanye hitam yang hebat.

Abad pertama masehi bukan hanya merupakan perang saudara Romawi yang dipenuhi kekerasan fisik, tapi juga kekerasan retorika. Cicero adalah seorang pencerca yang sadis. Ia menuduh Cataline, lawan politiknya, berniat melakukan konspirasi menjatuhkan pemerintah.

"Pergilah anda dari Romawi. Setiap orang takut dan membencimu. Matamu penuh airmata buaya, tanganmu penuh dengan darah, tubuhmu dibalut keserakahan," begitu Cicero menghujat Cataline.

Bukan itu saja. Cicero menuding Cataline telah membunuh isterinya supaya bisa kawin lagi. Tudingan dan serangan verbal Cicero dalam setiap pidatonya membuat Cataline tidak tahan. Cateline yang mengalami demoralisasi akhirnya meninggalkan Romawi dan terbunuh dalam perang beberapa waktu kemudian.

Dari kisah Cicero tersebut maka bisa disimpulkan bahwa kampanye hitam telah menjadi racun politik sepanjang sejarah politik itu sendiri.

Membunuh demokrasi

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kampanye hitam, saling serang dan saling menelanjangi, itu baik bagi perkembangan demokrasi?

Victor Kamber, penulis buku "Poison Politics", menjawab bahwa kampanye negatif, apalagi kampanye hitam, merusak demokrasi.

"Kampanye hitam itu seperti racun politik yang tidak sehat bagi rakyat," katanya tegas.

Di negara yang kehidupan demokrasinya sudah matang seperti Amerika Serikat sekalipun, katanya, kampanye hitam tetap terjadi.

Barack Obama, misalnya, tak luput dari kampanye hitam saat Pilpres. Musuh politiknya kerap mengaitkan masa kecil Obama dengan agenda-agenda besar politisi yang pernah sekolah di Menteng, Jakarta itu.

Masa lalu Obama di Indonesia dan Kenya menjadi sasaran empuk kampanye hitam lawan politiknya. Seolah-olah warna Indonesia pada Obama akan membahayakan kehidupan beragama di Amerika Serikat.

Begitupun kandidat Wapres Sarah Palin. Ia disorot media atas kehamilan di luar nikah yang dialami putrinya. Memang Amerika Serikat relatif bebas dalam pergaulan seks ini, tetapi kenyataannya masyarakat di sana tetap menginginkan pemimpin yang bersih, termasuk urusan keluarga tersebut.

Kehamilan di luar nikah telah menjadi senjata kampanye hitam sehingga Sarah Palin menjadi bulan-bulanan media.

Kampanye hitam, menurut Victor Kamber, telah berkontribusi terhadap sikap anti-politik dan meningkatnya jumlah golongan putih (Golput) di Amerika Serikat.

Kampanye negatif telah meracuni demokrasi dengan menelanjangi kekurangan dan kebobrokan para kandidat dan pemimpin politik.

"Bayangkan jika biro iklan Coca Cola menyerang betapa buruknya Pepsi dan Pepsi membalas betapa berbahayanya Coca Cola. Lama kelamaan, tidak ada orang yang mau minum Coca Cola atau Pepsi," tulis Kamber.

Orang dapat hidup tanpa minum minuman ringan. Tapi orang tidak akan bisa terjamin keamanan dan kesejahteraannya tanpa pemerintahan, tanpa presiden dan wakil presiden.

Kampanye hitam akan membuat bangsa ini terbelah. Ia akan menyebarkan permusuhan, fitnah, SARA, dan kebencian.

Dalam perspektif inilah, masyarakat menyambut baik pencopotan Ruhut Sitompul dari tim kampanye SBY-Boediono. Ruhut dianggap menodai etika kesantunan karena meremehkan etnis Arab. Ia juga dinilai melanggar etika dan fatsoen politik yang dijunjung tinggi oleh SBY.

Politik harus beretika. Ia tidak boleh menghalalkan segala cara. Jika kampanye didasarkan hanya pada bagaimana memenangkan Pilpres dan tidak pada landasan etika, maka akan melahirkan presiden yang oportunis, tidak jujur dan berorientasi pada kepentingan sesaat berjangka pendek.

Sebaliknya, jika kampanye didasarkan pada etika dan persaingan yang fair, maka bangsa ini akan mendapatkan presiden yang betul-betul terbaik dari yang baik. Maka, stop kampanye hitam. Katakan tidak pada poison politics ! (***)
COPYRIGHT © 2009