Kamis, 16 Oktober 2008

Politik Rasis di Pemilu Amerika Serikat

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Terlalu berlebihan bila menuding Amerika Serikat sebagai bangsa yang rasis. Tapi, politik rasisme sedang jadi guncingan panas di negeri Paman Sam pada hari-hari terakhir menjelang pemilihan presiden bulan Nopember mendatang.

Para analis dan komentator sibuk memperdebatkan, apakah memilih Barack Obama sebagai Presiden merupakan sebuah upaya melawan rasisme yang selama ratusan tahun berjalan di Amerika Serikat?.

Apakah seorang kulit hitam di Gedung Putih (garis bawahi kata Putih) akan mengakhiri secara simbolik kredo politik AS bahwa hanya kulit putih yang berhak memimpin negara pembela kapitalis itu?.

Selama ini dalam sejarah politik AS diyakini bahwa hanya M-W-P-A yang bisa menjadi pemimpin politik tertinggi di negeri itu. MWPA adalah singkatan dari Male (laki-laki), White (Kulit Putih), Protestant (Beragama Protestan) dan Anglo-Saxon (berasal dari nenek moyang dari Eropa, khususnya Inggris).

Kredo MWPA ini tidak terlepas dari sejarah panjang asal usul bangsa AS yang oleh para pendiri bangsanya didirikan atas fondasi yang sebetulnya berbau rasisme dan bias gender.

Itulah sebabnya, dari 42 Presiden AS sampai sekarang tidak pernah ada yang kulit hitam atau kuning. Belum ada wanita yang jadi presiden atau wakil presiden. Belum ada orang Amerika keturunan Afrika atau Asia yang duduk di Gedung Putih. Memang pernah ada John F Kennedy yang beragama Katholik jadi Presiden, tapi kemudian dia ditembak di Dallas.

Munculnya Obama sebagai kandidat presiden yang populer menjungkirbalikan fondasi dasar sistem politik AS. Obama memang laki-laki, tapi dia kulit hitam, berasal dari Afro-Amerika. Meskipun dia sudah mengumumkan beragama Protestan, tetapi tetap saja dihubungkan dengan latar belakang masa kecilnya yang pernah bersekolah di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Jadi, seperti dikemukakan komentator politik Ron Jacobs, Pemilu di AS akan menjadi tonggak sejarah baru sistim politik di negeri itu. Pilihannya bukan lagi pada Partai Republik atau Partai Demokrat. Pilihannya bukan lagi pada John McCain atau Barack Obama. Tapi pilihannya adalah apakah bangsa AS akan mengakhiri kredo MWPA atau tidak?

Sudah relakah bangsa AS dipimpin oleh "orang yang bukan satu di antara kita" (meminjam istilah kandidat wakil presiden Sarah Palin).

Sebagian warga AS dengan tegas menyatakan tidak. Dalam alam bawah sadar bangsa AS, rasisme berurat berakar sepanjang sejarah berdirinya bangsa itu. Sampai saat ini di dalam alam pikiran jutaan rakyat AS, mereka belum bisa menerima dengan ikhlas seorang lelaki kulit hitam, bersama isteri dan anak-anaknya, bisa tinggal di sebuah gedung yang namanya saja jelas-jelas "White House" atau Gedung Putih.

"Orang kulit hitam di Gedung Putih? It is not American dream, but American nightmare," komentar seorang warga di kampanye Palin.

Bukan Amerika

Kelompok sayap kanan mengumbar tudingan yang mengasosiasikan Obama dengan Osama bin Laden dan orang yang membenci Amerika. Mereka mengkampanyekan bahwa latarbelakang multikultural Obama yang lahir dari ayah yang berasal dari Kenya dan masa kecil di Indonesia- sebagai bukan Amerika (Unamerican).

Fakta itu sebagai ancaman atas keamanan nasional AS.

Tidak heran jika dalam kampanye Partai Republik, terutama kampanye Sarah Palin, muncul sentimen rasis terhadap Obama. Teriakan-teriakan "kill him" dan "terrorist" kerap terdengar dan mengumandang. Banyak yang khawatir Obama akan ditembak seperti halnya JFK, sehingga pengamanannya belakangan ini diperketat dan diperkuat.

Jika Obama memenangi Pemilu, maka bangsa AS memasuki babak baru. Obama akan mengakhiri dominasi politik kulit putih di Gedung Putih. Masuknya Obama di lingkaran utama arus besar kekuatan politik AS menjadi sesuatu yang bersejarah.

Jika benar nanti Obama disumpah menjadi orang nomor satu di AS, maka nilai kesejarahan Obama bisa disandingkan dengan Abraham Lincoln yang mengakhiri perang saudara yang sangat berdarah dan sekaligus mengakhiri perbudakan di AS.

Obama di Gedung Putih membuktikan bahwa impian Amerika seperti dikemukakan tokoh kulit hitam Martin Luther King terwujud dan menjadi kenyataan.

Marthin Luther King terkenal dengan pidato "I have a dream" yang membara pada 28 Agustus 1963. Pidato di depan makam Abraham Lincoln yang dihadiri 250.000 demontran kulit hitam itu menjadi salah satu pidato yang penuh inspirasi dan mengubah dunia, setidaknya AS.

Dengan suara menggelegar, King di podium memegang mikrofon berujar, "Saya punya mimpi bahwa suatu hari bangsa ini akan bangkit dan hidup sesuai dengan kredonya bahwa setiap orang memiliki hak yang sama.

"Saya punya mimpi bahwa empat anak saya suatu saat akan hidup dalam sebuah negara di mana dia tidak lagi dilihat dari warna kulitnya, tapi dari sikap tindak perbuatannya.

"Saya punya mimpi bahwa suatu saat di bukit Georgia ini anak-anak para budak dan anak-anak pemilik budak akan bisa duduk bersama di meja persaudaraan.

"Inilah harapan kita. Saatnya kita mengakhiri ketidakadilan rasial dan menuju kepada persaudaraan yang kokoh.

"Kita harus mempercepat terwujudnya impian itu di mana seluruh anak-anak Tuhan: kulit hitam dan kulit putih, Yahudi dan Muslim, Protestan dan Khatolik, bisa bergandeng tangan dan bernyanyi seperti hymne spritual Negro: Bebas! Akhirnya Bebas!"

Pidato itu dikumandangkan lebih dari 40 tahun lalu. Jika Obama menang bulan depan dan masuk Gedung Putih, berarti diperlukan waktu empat dekade untuk mewujudkan impian itu.

Sebaliknya, jika McCain yang berjaya, pejuang-pejuang persamaan hak dan anti-rasisme masih memerlukan waktu untuk mewujudkan impian Marthin Luther King tersebut. Tapi, paling tidak, AS akan punya wanita pertama, Sarah Palin, yang menjadi wakil presiden. Tidak terlalu buruk.
(*)

Jumat, 10 Oktober 2008

Neoliberalisme Telah Mati

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.


Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.


Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India," katanya.


Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)