Senin, 04 Agustus 2008

MAHBUBANI DAN KEBANGKITAN ASIA

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta, 4/8 (ANTARA) – Tak ada cendikiawan yang paling vokal menyuarakan Asia kecuali Prof. Kishore Mahbubani. Ia adalah diplomat Singapura keturunan India yang sudah menulis sekian banyak buku tentang bangsa-bangsa di Timur, termasuk yang provokatif seperti “Dapatkah Bangsa Asia Berfikir?”.

Namanya sangat dikenal di berbagai lembaga dunia sebagai penyuara Asia disamping Dr. Mahathir Muhammad dari Malaysia. Mahbubani juga pernah jadi Wakil Tetap Singapura di PBB yang sangat dihormati karena pandangan-pandangannya yang kritis dan jenius.

Hari-hari ini Mahbubani sedang road show ke Asia, termasuk ke Indonesia, mengkampanyekan bukunya yang terbaru “The New Asian Hemisphere”. Ia menjadi pembicara utama dalam Presidential Lecture di Istana Negara bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hari Jumat (1/8), Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Universitas Nasional Singapura itu, berdiskusi di Universitas Paramadina.

“Tolong jangan panggil saya lagi Tuan Duta Besar. Saya sudah lama pensiun dari diplomat dan tidak bekerja di pemerintahan lagi. Saya lebih senang dipanggil professor, karena kemerdekaan akademik saya lebih terjamin dengan atribut itu,” katanya kepada Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan yang terus saja memanggilnya ”Mr. Ambassador”.

Bersama civitas akademika Universitas Paramadina, Mahbubani berdiskusi membahas topik ”Mengapa Asia Bangkit?”. Berkemeja batik, Mahbubani dengan sangat meyakinkan menjelaskan thesisnya mengenai kebangkitan Asia dan perlunya Barat mulai menyesuaikan diri dengan pudarnya dominasi mereka di dunia.

”Kita memasuki era baru dalam sejarah dunia, yaitu berakhirnya dominasi Barat dan datangnya abad Asia,” katanya dengan mantap dan tegas.

Abad Asia
Abad 21 adalah abad Asia. Inilah inti kampanye dan keyakinan Mahbubani yang dituangkan dalam berbagai diskusi dan artikel di media massa internasional, termasuk ”The Making of Modern Asia” di majalah Time, edisi 7 Agustus 2005.

Sebagai anak dari imigran miskin India yang tumbuh tahun 1950-an di koloni Inggris, Singapura, Mahbubani bersama-sama teman sekelasnya tidak pernah menyangka bahwa Abad Asia akan datang pada sisa hidupnya.

”Kami dulu percaya bahwa Inggris adalah pusat dunia, bahkan seorang teman sering mengatakan jalan-jalan dan taman di London dipagari bersepuh emas. Sedangkan Cina dan India waktu itu dibelenggu kemiskinan yang sepertinya akan abadi,” kenangnya.

Kini, katanya bersemangat, bangsa-bangsa Asia telah bangkit. Abad Asia sudah dimulai. Yang membuat Asia bangkit tak bisa dibendung adalah keberhasilan Cina dan India. Cina sukses sebagai dinamo ekonomi dan India berhasil sebagai kampium demokrasi. Negara-negara Asia lain seperti Jepang, Korea Selatan, mengadopsi demokrasi dan pasar bebas yang digelindingkan Barat. Mereka mengimitasi Barat.

Prinsip-prinsip ekonomi yang mendorong kebangkitan Asia berasal dari Adam Smith. Ideologi politik Asia yang berkembang berasal dari pemikir Barat dari John Locke sampai Karl Marx. Lembaga-lembaga multilateral internasional yang membentuk ekonomi politik Asia, seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan WTO, adalah hasil kreasi Barat. Pendek kata, bangsa Asia telah mendapat manfaat besar dari posisinya sebagai ”penumpang” dalam bus globalisasi yang dijalankan Barat.
”Saatnya mereka harus jadi sopir. Bangsa Asia tidak bisa selamanya menjadi penumpang. Asia harus mengendalikan arah perkembangan ekonomi politik dunia sebagaimana Barat telah melakukannya selama ini,” katanya lagi.

Di Asia, ungkap Kishore, terdapat separuh jumlah penduduk dunia. Asia menghasilkan lebih dari sepertiga hasil ekonomi global. Asia menggerakkan sejumlah besar simpanan dunia. Tengok saja halaman terakhir setiap terbitan The Economist. Di situ terdapat daftar negara-negara dengan cadangan devisa tertinggi. Sebagian di antaranya negara-negara Asia.

Wake up call
Dunia tampaknya harus belajar terhadap tanggungjawab baru yang harus diemban bangsa-bangsa Asia. Pertanyaannya adalah apakah negara-negara Barat, terutama yang berkuasa di Washington, akan terbangun dengan ”wake up call” dari realitas baru ini. Realitas yang menunjukan tanda-tanda kebangkitan Asia dan pudarnya dominasi Barat di dunia.

Ketika Presiden baru Amerika Serikat dilantik bulan Januari tahun depan, menurut Mahbubani, akankah dia berkata,”Hentikan kunjungan ke Eropa. Kirimkan saya ke Pasifik, bukan ke Atlantik. Negara-negara maju G-8 diambang terbenam. Biarkan saya fokus ke fajar baru yang siap menyingsing di Asia”.

Barat sudah mendominasi sejarah dunia selama 200 tahun terakhir. Tetapi janganlah lupa bahwa dari tahun 1 sampai tahun 1820, sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan Inggris Angus Maddison, yang menjadi raksasa ekonomi dunia adalah Cina dan India. ”Jarum jam sejarah akan berputar kembali di abad 21,” ujar Mahbubani.

Sebuah kajian yang dilakukan oleh Goldman Sachs tahun 2003 secara meyakinkan telah memprediksi bahwa pada 2050, empat negara raksasa ekonomi di dunia secara berurutan kebesarannya adalah Cina, Amerika Serikat, India dan Jepang. Kajian terbaru Goldman Sachs menunjukan bahwa prediksi itu bisa terjadi lebih cepat lagi dan ekonomi India akan melampaui AS pada tahun 2043.

”Perubahan akan sangat dramatis dan terjadi begitu cepat,” katanya.
Lawrence Summers, ekonom yang mantan Menteri Keuangan AS, mengatakan pada masa Revolusi Industri peningkatan standar hidup melonjak 50 persen sepanjang usia hidup manusia. Pertumbuhan Asia sekarang menunjukan lonjakan luar biasa yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan, yaitu standar hidup naik 100 kali lipat atau 10.000 persen sepanjang usia hidup seseorang.

Namun, tidak semua pakar di Barat seperti Lawrence Summer. Alfred Balitzer dari Pascasarjana Universitas Claremont, AS, meragukan thesis Mahbubani. Dulu pada awal 1980-an, kata Balitzer, Mahbubani mengacu pada ”Asian Values” yang menjadi pendorong kuat keajaiban ekonomi Asia. Nilai-nilai Asia dianggap lebih tinggi ketimbang ”Western Values”, wabilkhusus ”American Values”.

”Argumentasi itu mati diam-diam dengan datangnya krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998,” kata Balitzer yang meresensi buku Mahbubani di koran Straits Times beberapa waktu lalu.
Prof. Mahbubani berhak untuk bangga dengan kemajuan ekonomi Cina, India dan ASEAN. Ia juga benar bahwa Asia harus mendapat perhatian lebih besar dari AS dan bangsa-bangsa Asia harus memainkan peranan yang besar di lembaga-lembaga internasional.

”Tapi, ia salah, bahkan salah besar, dalam prediksinya tentang siapa yang bangkit dan siapa yang pudar. Asia memang bangkit, tapi bukan berarti Barat runtuh,” katanya.
Balitzer menyindir bahwa mungkin saja Abad 21 itu jadi Abad Asia, tapi sejarah tentang itu belum ditulis. Hanya dengan perjuangan dan kerja keras, bangsa-bangsa Asia bisa menentukan nasibnya dan menulis sejarahnya.

Waktu jua yang akan membuktikan bahwa kebangkitan Asia hanya wacana atau sesuatu yang nyata. Sejarah sudah mencatat Pax Romawi, Pax Britanica, dan kini Pax Americana. Mungkinkah Pax Asia berikutnya?