Jumat, 23 Mei 2008

SIMALAKAMA BBM

Oleh Akhmad Kusaeni


Tidak ada yang senang dengan naiknya harga BBM. Orang kaya akan berkurang kenikmatannya, orang miskin akan makin sengsara.
Bagi orang miskin, kehidupan mereka akan makin sulit sudah sangat jelas. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum diumumkan saja, harga beras, gula, minyak, sudah melambung. Daya beli kaum dhuafa makin jeblok.
Jika sekarang kehidupan kaum miskin diibaratkan Senin-Kamis, maka dengan kenaikan harga BBM yang diikuti meroketnya harga kebutuhan pokok, maka kehidupan mereka menjadi Senin-Rabu. Malah mungkin ada yang Senin-Selasa. Media memberitakan adanya sejumlah kasus bunuh diri akibat krisis ekonomi.
Intinya, kenaikan harga BBM membuat orang miskin menjadi lebih sulit. Fakta ini disadari penuh oleh pemerintah. Itu sebabnya pemerintah memberikan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS). Dana yang dianggarkan untuk BLT 2008 sebesar Rp14 tiliun. Itu akan dibayarkan mulai Jumat, 23 mei 2008. Masing-masing RTS mendapat Rp100.000 setiap bulan.
”BLT bukan untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Ini ibarat obat sakit kepala. Supaya orang miskin yang sakit kepala akibat kenaikan BBM bisa sembuh sakit kepalanya, lalu bisa kembali bekerja dan berusaha,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, M. Nuh, pada sosialisasi kebijakan penyesuaian harga BBM dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada para humas dan PR di Jakarta, 21 Mei 2008.
Menurut Nuh, BLT diberikan agar orang miskin bisa survive daya belinya saat menghadapi dampak kenaikan harga BBM.
”BLT memang memberi ikan. Tapi pemerintah juga punya program penaggulangan kemiskinan lain dimana mereka diajari mancing. Bahkan nantinya dibantu punya pancing dan perahu sendiri,” katanya.
Yang dimaksud dengan ”mengajari mancing” atau ”pemberian kail” adalah Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) berupa dana Rp3 miliar per tahun yang diberikan ke 3.999 kecamatan. Total dana yang dikucurkan Rp13,8 triliun.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”bantuan untuk punya pancing dan perahu sendiri” adalah penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 juta ke bawah kepada pelaku usaha mikro dan kecil seperti pedagang asongan atau pengrajin rumah tangga.

Tak ada subsidi
Pertanyaan berikutnya, mengapa orang kaya menentang kenaikan harga BBM? Itu karena subsidi BBM yang selama ini dinikmati, tidak ada lagi. Sehingga anggaran untuk gaya hidup dan belanja terpaksa harus dipangkas. Kebiasaan ngopi-ngopi di cafe, nonton bioskop, atau pelesiran menjadi terbatas.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, selama ini 70 persen subsidi BBM dari pemerintah dinikmati oleh 40 persen masyarakat kelas atas, terutama para pemilik kendaraan bermotor.
Setiap satu liter bensin premium yang dijual seharga Rp4500, pemerintah sesungguhnya mensubsidi sebesar Rp4500, karena harga pasar bensin Rp9000/liter.
”Jika satu mobil menghabiskan bensin 10 liter per hari, maka setiap pemilik kendaraan bermotor mendapat subsidi Rp45.000 per hari,” kata Freddy Tulung, pejabat dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Itu berarti, setiap pemilik mobil yang mengkonsumsi 300 liter bensin per bulan, maka dia mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp1,2 juta per bulan.
Freddy mempertanyakan pihak-pihak yang menentang pemberian BLT.
”Memberi Rp100 ribu saja ke orang miskin, koq ribut. Padahal, kita terima Rp1,2 juta diam-diam saja,” katanya mempertanyakan.
Menko Kesra Aburizal Bakrie juga menanggapi penolakan penyaluran BLT oleh sejumlah Kepala Daerah. Aburizal heran mengapa ada gubernur, bupati, dan walikota yang menolak bantuan untuk orang-orang miskin di daerahnya.
”Harusnya kepala daerah berterimakasih kepada presiden,” katanya.

Penolakan terus berlangsung
Tapi aksi penolakan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT terus berlangsung. Unjuk rasa terjadi di Ibukota dan sejumlah daerah. Badan Intelijen Negara (BIN) menengarai akhi-aksi unjuk rasa sudah tidak murni, melainkan ada yang menunggangi.
Kegaduhan yang terjadi di jalanan dan ramainya polemik di media massa tentu terkait dengan situasi tahun 2008 sebagai tahun politik dan tahun 2009 sebagai tahun Pemilu. Ini terbukti dari fakta adanya saling tuding antar elite politik di tengah kesulitan yang semakin nyata dihadapi rakyat.
Pejabat pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kenaikan harga BBM terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Kepentingan lebih besar dijadikan pijakan ketimbang popularitas dan karier politik.
”Keputusan yang populis belum tentu benar, sedangkan keputusan yang benar belum tentu populis,” kata seorang pejabat.
Ia sedang berargumentasi bahwa keputusan menaikan harga BBM adalah keputusan yang benar dan oleh karena itu pemerintah siap menerima resiko tidak populer. Artinya, kalkukasi resiko politik sudah dihitung betul.
Menteri Kominfo M. Nuh mengatakan pemimpin negara ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mempertaruhkan karir politiknya demi memikirkan masyarakat dengan menaikkan harga BBM.
"Kalau pemimpin kita memperhatikan karir politiknya, pasti dia tidak akan memilih menaikkan BBM, karena keputusan ini tidak disukai oleh semua orang,” katanya.
Memang, keputusan menaikan harga BBM tidak disukai oleh semua orang. Yang kaya akan berkurang kenikmatannya karena subsidi bensin dicabut. Yang miskin akan lebih sengsara (badly hurt, meminjam istilah Menkeu Sri Mulyani) karena harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung.
Meskipun seperti buah simalakama, keputusan harus diambil.

Jumat, 16 Mei 2008

IMF dibalik kejatuhan Soeharto?

Oleh Akhmad Kusaeni



Jakarta (ANTARA News) - Saat pergolakan terjadi pada Mei, sepuluh tahun lalu, seorang aktivis berkeliling Jakarta dibonceng oleh motor besar sang mertua. Keduanya kemudian bergabung dengan mahasiswa yang berunjuk rasa dan menguasai gedung parlemen. Mereka meminta Presiden Soeharto mundur.

Ketika orang kuat yang sudah berkuasa selama 32 tahun itu betul-betul mundur pada 21 Mei 1998 seperti disiarkan langsung oleh televisi, sang aktivis mencium bumi. Setelah bersujud syukur, ia menggunting sprei tempat tidur untuk dijadikan spanduk. Dengan spidol besar, ia menoreh tulisan "Bye-bye Soeharto".

Ia bawa spanduk itu ke gedung DPR/MPR Senayan. Keruan saja menjadi pusat perhatian media, terutama juru kamera dan juru foto asing. Sejumlah wartawan TV asing seperti NHK dan BBC mewawancarai si aktivis. Ia ditanya perasaannya mendengar berita Soeharto lengser.

"I am happy, my father happy, my mother happy, everybody happy..." katanya.

Itulah cerita di balik sampul buku terbitan Crawford House Publisihing, Australia yang berjudul: THE FALL OF SOEHARTO (diterbitkan hanya beberapa bulan setelah Soeharto mundur). Buku setebal 261 halaman itu merupakan kumpulan artikel yang penulisnya sebagian besar adalah pengamat Indonesia dari Australia seperti Hall Hill, Jamie Mackie, Richard Robinson, Harold Crouch, dan Geoff Forrester.



Buku ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mendorong mundurnya Soeharto dari jabatannya. Faktor utama yang disebutkan di buku itu adalah semakin memburuknya situasi ekonomi saat itu. Hall Hill menilai krisis ekonomi sejak Juli 1997 menyebabkan jatuhnya Soeharto.



Krisis ekonomi yang disusul krisis politik mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif, hingga menyebabkan anjloknya nilai rupiah sampai mencapai Rp17.000,- per dolar. Rupiah yang lemah membuat pebisnis "collaps" karena tidak dapat lagi mengelola utang luar negerinya. Situasi diperburuk dengan besarnya utang luar negeri dan buruknya sistem manajemen keuangan dalam negeri. Harga barang kebutuhan pokok melonjak, sehingga menimbulkan keresahan sosial yang luar biasa.



Pemahaman baru



Begitulah. Yang dipahami orang waktu itu adalah Soeharto jatuh karena krisis ekonomi. Tapi belakangan, pemahaman itu berubah seiring dengan berjalannya waktu dan bersuaranya para tokoh yang terlibat memberikan analisa dan kesaksian.Analisa di balik jatuhnya Soeharto pun memiliki nuansa pemahaman baru.



Ada pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar "Soeharto jatuh karena krisis ekonomi". Mereka berpendapat "Soeharto jatuh karena IMF?" Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.



Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. Ini dibuktikan dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus sendiri.



Dalam wawancara "perpisahan" sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia.



"Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun," ujarnya. Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang. Tak dinyana, krisis di Indonesia ternyata bukan semata kegagalan kebijakan ekonomi Soeharto, tapi juga berkat "bantuan" IMF.

Jatuhnya Soeharto, ternyata bukan hanya karena sikut-sikutan di kalangan militer atau tekanan politik dalam negeri dan gerakan mahasiswa, melainkan lebih karena tekanan pasar keuangan internasional dan IMF.

Lihatlah fakta penggalan sejarah berikut ini. Soeharto terpaksa menandatangani "letter of intent" dengan IMF di kediaman Cendana, pada 15 Januari 1998. Camdessus menyaksikan momen penandatanganan itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada.Bos IMF itu terlihat pongah seperti tampak pada foto yang dimuat di media nasional dan internasional keesokan harinya.

Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai "Soeharto tunduk pada IMF, salah satu pilar kapitalisme global". Hanya beberapa pekan kemudian, tanda tangan itu terbukti membelenggu Soeharto sendiri.

Mencoba lepas dari tekanan IMF, Presiden mencari "jalan lain" yang tidak disukai lembaga donor internasional itu. Pada akhir Januari 1998, Presiden menerima Steve Hanke yang menawarkan proposal CBS. D

engan CBS, rupiah akan dipatok pada 5.500 per dolar.Soeharto tertarik dan hampir memberlakukan CBS. Ia sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang CBS.

Dalam risalah rapat Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan yang dipimpin Soeharto tanggal 10 Februari 1998, salah satu butir keputusan rapat adalah instruksi Presiden kepada Menkeu Mar`ie Muhammad, Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, untuk "menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemberlakuan "currency board."

IMF mengancam
Namun, seperti diberitakan media, IMF menganggap rencana itu merupakan gangguan terhadap konsistensi reformasi. Apalagi koran The Washington Post mengabarkan bocornya surat pribadi Michel Camdessus kepada Soeharto tertanggal 11 Februari 1998.

Surat itu berisikan ancaman bahwa IMF akan menangguhkan pinjaman sebesar 43 miliar dolar AS jika tidak ada kejelasan mengenai masa depan reformasi sesuai LoI yang telah diteken 15 Januari. Ancaman tersebut manjur. CBS akhirnya dibatalkan menyusul tekanan Barat yang makin keras.

Menurut Steve Hanke, serangan keji terhadap gagasan CBS dan dirinya sebagai penasehat ekonomi presiden dilancarkan begitu keji. Pelaksanaan CBS Indonesia ditentang habis-habisan. Akan tetapi Argentina, yang juga pasien IMF, dibolehkan.

Begitu pula kontrol devisa, yang digelar begitu mulus di Chili, ternyata diharamkan di Indonesia. Padahal, kata Steve Hanke, kalau saja Indonesia kala itu diizinkan memakai CBS atau bahkan kontrol devisa, "Perekonomian Indonesia mungkin bisa selamat."

Berkali-kali Hanke mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena IMF sangat khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. "Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh" kata Hanke kepada Soeharto.

Seiring dengan berjalannya waktu, Hanke kemudian mendapat jawaban lebih jelas mengapa idenya tentang CBS dibantai habis-habisan, padahal di negara lain bisa jalan dengan baik. Merton Miller, seorang penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi, mengatakan bahwa penolakan pemerintah Clinton dan IMF terhadap CBS "Bukan karena itu tidak akan jalan tapi justru kalau itu jalan maka Soeharto akan terus berkuasa".

Pendapat sama, lanjut Hanke, juga dikemukakan oleh mantan PM Australia Paul Keating. Keating mengatakan "AS tampak dengan sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat untuk menggusur Soeharto". Memang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar, mengapa IMF ingin menjatuhkan Soeharto. Tapi, yang jelas, menurut para ekonom, masuknya IMF ke Indonesia seperti membawa kunci pembuka bagi gudang harta terpendam, yakni pasar Indonesia yang luar biasa dahsyat.

Ini terbukti, setelah IMF menjadi "dokter" perekonomian Indonesia, perusahaan asing begitu leluasa berbisnis di negeri ini. Di setiap pojok kota, kini begitu banyak kantor cabang bank asing, restoran asing, perusahaan multinasional dan barang produk luar negeri.Jika para aktivis sepuluh tahun lalu mengusung spanduk "Bye-bye Soeharto", setelah sadar apa yang sebenarnya terjadi, mereka jugalah yang kemudian meneriakan dengan keras di jalan-jalan yang panas dan berdebu: "Sayonara IMF". (*)

Jumat, 09 Mei 2008

PRESIDEN DAN MEDIA : A LOVE STORY

Oleh Akhmad Kusaeni

Hubungan Presiden dengan media ibarat sebuah kisah cinta.
Sebagai ”love story”, tentu saja diwarnai oleh perasaan benci dan rindu. Satu hal yang pasti, keduanya saling membutuhkan dan merasa hidup tak sempurna tanpa keberadaan yang lain.
Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson sangat memuja dan mendewakan pers. Ia pernah mengatakan pada tahun 1787 bahwa ”Andaikata disuruh memilih antara pemerintah tanpa suratkabar, atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya akan memilih yang terakhir (suratkabar tanpa pemerintah)”.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa presiden-presiden Amerika Serikat membenci dan memusuhi pers. Bahkan Jefferson sendiri pernah menuntut wartawan ke pengadilan karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Clinton saat dilanda skandal dengan Monica Lewinsky, menuding media telah bersekongkol dengan kelompok sayap kanan untuk memakjulkannya dari Gedung Putih.
James Reston dalam buku ”The Artilery of the Press” mengungkapkan hampir semua Presiden Amerika Serikat sampai ke puncak kekuasaan dengan memuji-muji pers dan meninggalkan kepresidenannya dengan mengutuk banyak praktik-praktik pers.
”Sebelum berkuasa, hampir semua Presiden memuji pers, namun tatkala berkuasa merasa terganggu oleh pers,” tulis Reston.

Di titik nadir
Tidak hanya di Amerika Serikat, Presiden di negeri jiran Filipina juga begitu. Pada masa kampanye, Gloria Macapagal Arroyo sangat bersahabat dengan wartawan, namun kini hubungan Presiden Filipina dengan media tengah berada pada titik nadir.
Menurut Mia Gonzales, wartawan Istana Malacanang yang bekerja untuk harian Bussines Mirror, memburuknya hubungan Arroyo dengan wartawan dipengaruhi krisis politik terburuk yang dialami Presiden, terkait dengan dugaan rekayasa hasil suara Pemilu dan skandal korupsi.
Setiap hari koran dan televisi memberi tempat yang luas kepada pihak oposisi yang ramai-ramai mendesak Presiden mundur secara konstitusional atau melalui gerakan people power.
Hal serupa juga terjadi pada pendahulu Arroyo. Pada bulan-bulan pertama Joseph Estrada menjadi presiden pada Juni 1998 menggantikan Fidel Ramos, hubungannya dengan wartawan Istana juga begitu mesra. Jika ada kebaikan Estrada yang diingat wartawan, itu adalah perhatiannya terhadap perut orang-orang di sekeliling presiden.
Lilia Tolentino dari harian Pilipino Star Ngayon mengungkapkan Presiden Estrada punya hobby mentraktir makan dan minum para wartawan Istana. Estrada tak segan-segan makan dengan tangan dan membagi potongan daging dari piringnya kepada wartawan. Estrada juga suka mengupaskan kulit udang untuk wartawan perempuan yang makan bersamanya.
Begitu baiknya Estrada pada wartawan Istana. Tapi wartawan adalah wartawan. Seperti yang dikemukakan pakar jurnalistik Bill Kovach, “journalist makes no friend or enemy”. Wartawan tidak pernah mencari kawan atau musuh. Ia adalah anjing penjaga yang loyalitas utamanya kepada publik. Kemesraan hubungan dengan Presiden menjadi putus ketika Estrada mulai diketahui belangnya.
Presiden dituding menerima uang dari bandar judi dan suka foya-foya dengan perempuan. Adalah hasil liputan investigasi wartawan yang mengungkap Istana-Istana dan para selir Estrada yang membuat presiden pilihan rakyat itu akhirnya dimakjulkan alias dikenakan impeachment.

Mengapa presiden benci media?
Michael Nelson, pakar media dari Amerika Serikat, pernah menulis panjang lebar mengenai ”Why the Media Love Presidents and Presidents Hate the Media”.
Mengapa Presiden membenci media? Menurut Nelson, sudah jelas jawabannya, yaitu presiden membenci apa yang tidak bisa dikontrolnya. Setiap presiden, siapapun orangnya, tidak akan bisa mengendalikan sikap kritis dan sinis dari kalangan media. Itu memang sudah menjadi sikap mental dan jatidiri pers.
Presiden Arroyo membenci media karena pers sering menjadi biang kerok dan bahkan bagian dari kekuatan destabilisasi. Presiden Arroyo meminta media untuk tidak memanas-manasi situasi dan menjadi bagian dari pemecahan masalah, serta bukan sebaliknya menjadi masalah.
Arroyo meminta wartawan untuk melaksanakan jurnalisme patriotik dengan memberitakan kabar baik dan bukan melulu kabar buruk. Tapi, media di Filipina adalah yang terbebas di Asia dan tak ada urusan dengan imbauan Presiden.
Seperti dikemukakan Mia Gonzales, sebuah pers yang kehilangan kredibilitasnya sebagai anjing penggonggong pemerintah dan masyarakat, maka ia menjadi penghambat demokrasi. Oleh karena itu, media di Filipina akan terus mengkritisi presidennya, meskipun, misalnya berlaku pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Pertanyaan berikutnya, mengapa media (tetap) mencintai presiden padahal media sering “menggebuki” orang nomor satu di pemerintahan itu?
Jawabannya, presiden adalah sumber berita penting. Ia adalah pembuat berita. Seorang newsmaker.
“You may report, but I make the news,” kata Presiden Theodore Roosevelt kepada wartawan kepresidenan.
Benar! Wartawan bisa melaporkan suatu berita, tapi presidenlah yang sebetulnya membuat berita. Wartawan sangat haus akan berita-berita dari Istana Kepresidenan. Wartawan Gedung Putih, misalnya, tiap hari harus kirim minimal satu atau dua berita setiap hari. Oleh karena adanya pembatasan bagi wartawan untuk melakukan liputan secara independen di Kantor Presiden, pihak Istana berada pada posisi yang menentukan apa agenda pemberitaan hari itu.
Michael Parenti dalam buku “Inventing Reality: The Politics of the Mass Media” mengatakan seorang presiden punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu.
Alhasil, kemampuan presiden untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas. Sesinis-sinisnya wartawan terhadap presiden, dia akan sangat tergantung kepada berita apa yang akan disampaikan Kepala Negara.
Tidak mengherankan bila berita yang “positif” terhadap Presiden akan selalu lebih banyak daripada yang ”negatif”. Sebagai contoh, berita kategori “good news” mengenai Presiden di koran New York Times dan televisi CBS mengalahkan berita “bad news” dengan margin 34:1 dan 6:1.
Dengan demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi presiden untuk mengeluhkan laporan media dan perilaku wartawan. Karena pers sudah jadi kodratnya melaporkan kabar baik dan kabar buruk secara kritis. Konstitusi memberikan hak istimewa kepada pers untuk melakukan kritik dan kontrol sosial.
Oleh karena itu, jika ada politisi yang mengeluh tentang media, sama saja dengan pelaut yang mengeluhkan samudra.

Selasa, 06 Mei 2008

East-West Center Announces Journalism Travel-Study Fellowships on U.S.Election,Beijing Olympics Aftermath

Contacts:
Jefferson Fellowships:
Ann Hartman, Jefferson Fellowships Coordinator
East-West Center
Tel: (808) 944-7600
Email: http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=jefferson@eastwestcenter.org

Hong Kong Fellowships:
Marilyn Li, Seminars Specialist
East-West Center
Tel: (808) 944-7258
Email: http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=seminars@eastwestcenter.org




East-West Center Announces Journalism Travel-Study Fellowships
on U.S. Election, Beijing Olympics Aftermath


HONOLULU (May 5) – The East-West Center is now accepting applications for two journalism travel-study fellowships—the Fall 2008 Jefferson Fellowships for Journalists and the 2008 Hong Kong Journalism Fellowships.

The Jefferson Fellowships are open to journalists in the United States , Asia and the Pacific Islands , with an application deadline of June 4. The Hong Kong Journalism Fellowships are open to U.S. journalists only, with an application deadline of May 23.

Jefferson Fellowships on “The 2008 U.S. Presidential Election”:
The Fall 2008 Jefferson Fellowships program will take place Oct. 18-Nov. 9, 2008, and is open to working print, broadcast, and on-line journalists in the United States , Asia and the Pacific Islands . Five years of experience is preferred. All program and travel costs are funded by a grant from the Freeman Foundation.

The theme for this program is “The 2008 U.S. Presidential Election.” Fellows will travel to Honolulu , Hawaii ; Phoenix , Arizona ; Erie , Pennsylvania ; Cleveland , Ohio ; and Washington , D.C. to explore the important issues in the Nov. 4 election, learn about the U.S. political process, observe this historic election and discuss the outcome with U.S. analysts and one another.

After a week of discussion sessions at the East-West Center in Honolulu , participants will travel to various areas of the United States to discuss election issues and attitudes with policymakers, business leaders, community activists and voters from a range of important constituencies. In Phoenix , Arizona , John McCain’s home state, Fellows will explore the complexities of health care and immigration. In Erie , Pennsylvania and Cleveland , Ohio , cities in America ’s “rust-belt,” the program will focus on attitudes toward the economy, trade, social values and America ’s future. Fellows will observe the election in Ohio , the state that determined the 2004 contest in favor of George Bush and which is predicted to serve as a bellwether state again this year. They will then travel to Washington , D.C. for discussions with analysts, policymakers, journalists and others on what the results mean for the United States and its relations with Asia , the Pacific and the rest of the world.

The application deadline for the Jefferson Fellowships is June 4. See program details at www.eastwestcenter.org/jefferson. Send applications and questions by email to http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=jefferson@eastwestcenter.org or fax to (808) 944-7600. For phone inquiries, please contact Ann Hartman, Jefferson Fellowships Coordinator, at (808) 944-7619.

Hong Kong Journalism Fellowships on “The Aftermath of the Beijing Olympics”:
The 2008 Hong Kong Journalism Fellowships program will take place Sept. 11-27 and is open to U.S. journalists with at least five years of professional working experience in print, broadcast or online media. The program covers air transportation, lodging, and program-related ground transportation and meals for participating journalists. Participants are responsible for their own visa fees.

The program will begin with a two-day seminar at the East-West Center in Honolulu, followed by a study tour to Hong Kong and Beijing, Kunming, Shangri-La and Lijiang in mainland China, where fellows will meet with business executives, scholars, journalists, political leaders and government officials.

The Hong Kong Journalism Fellowships, established in 1996, are co-sponsored by the Better Hong Kong Foundation and the East-West Center to deepen better public understanding in the United States of the diversity and complexity of political, economic, social and cultural issues in Hong Kong and mainland China .

The application deadline for the Hong Kong Journalism Fellowships is May 23. For application information, please visit www.eastwestcenter.org/journalismfellowships and click on “ Hong Kong .” Send applications and questions by email to http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=seminars@eastwestcenter.org, fax to (808) 944-7600), or by post to:
East-West Seminars
ATTN: Hong Kong Journalism Fellowships
East-West Center
1601 East West Road
Honolulu , HI 96848

For phone inquiries, please contact Marilyn Li, Seminars Specialist, at (808) 944-7258.

For a list of all EWC media programs, see www.eastwestcenter.org/journalismfellowships


###

The East-West Center is an education and research organization established by the U.S. Congress in 1960 to strengthen relations and understanding among the peoples and nations of Asia, the Pacific, and the United States . The Center contributes to a peaceful, prosperous and just Asia Pacific community by serving as a vigorous hub for cooperative research, education and dialogue on critical issues of common concern to the Asia Pacific region and the United States . Funding for the Center comes from the U.S. government, with additional support provided by private agencies, individuals, foundations, corporations, and the governments of the region.